I Love You, But I Can't Love You

Title           : I Love You, But I Can't Love You (愛してるのに、愛せない)
Type          : SongFict
Author       : Ucii Pradipta
Genre        : Romance
Ratting      : PG-17
Fandom    : Avex, AAA
Cast         : Takahiro Nishijima, Misako Uno.
Disclaimer: The song belong to AAA and the char belong to themself. I just own the plot, and its baper.haha so enjoy!






-I Love You, But I Can't Love You-


Sabtu pagi yang seharusnya menjadi hari yang menyenangkan, ketika aku menunggumu pulang dari kota seberang di perbatasan kota. Udara yang masih segar membuatku semangat menunggumu.
Kau yang sedang berjuang menggali ilmu di kota seberang sedangkan aku yang masih menetap di desa dengan setia menunggumu.
Embun pagi yang masih memenuhi tempat ini. Biasanya Hiro akan memberikan sinyal kedatangannya dengan mengedipkan lampu sepeda motornya beberapa kali. Kemudian dari balik embun yang masih merajalela, muncullah Hiro dengan sepeda motornya. Kecepatan sepeda motornya mulai melambat setelah melewati perbatasan dan akhirnya berhenti di hadapanku.
“Okaeri..” sapaku sembari melemparkan senyuman padanya.
Bukan respon yang seperti biasanya, ia justru menunduk sambil menggigit bibirnya. Ada apa? Mana sapaan untukku? Kalimat ‘aku pulang’ atau ‘selamat pagi’ yang bisanya muncul setiap sabtu pagi itu entah mengapa hilang.

Ada yang janggal. Sapaan ringan itu hilang.
Aku melangkah mendekatinya, menatapnya dari jarak dekat. Kemudian tangannya yang dingin terkena angin selama perjalanan itu menyentuh pipiku lembut.
“Ittaiii..” ujarku ketika ia tiba-tiba mencubit pipiku.
“Cepat naik.” Ucapnya sembari tersenyum jahil setelah mencubit pipiku.
“Hei, aku merindukanmu. Kenapa Cuma begini saja?” tanyaku saat kami sudah melaju pelan.
Hening sejenak sebelum ia akhirnya menjawab. Rasanya ada kehampaan yang mencoba membuat celah diantara aku dan Hiro.
“Aku juga merindukanmu kok.” Jawabnya singkat, tak seperti biasanya.
Aku, aku khawatir kalau-kalau ia bertemu gadis lain di luar sana.
“Kau.. kau tidak selingkuh kan?” tanyaku begitu saja.
Tiba-tiba saja ia menghentikan sepeda motornya. Aku turun dari sepeda motor.
Cahaya mentari kini mulai membuat segalanya jelas. Aku dapat melihat wajah yang ku rindukan itu setiap minggunya tanpa mendapat gangguan dari kabut ataupun embun. Matanya melihatku dengan tajam.
“Bukankah yang selingkuh itu kamu? Seharusnya kau bisa jaga diri. Seharusnya senyum itu hanya milikku. Tapi lihat, apa yang terjadi? Kau tidak benar-benar menjaga dirimu sendiri. Kau tidak benar-benar melindungi tubuhmu, bahkan pandanganmu pun aku ragu kau menjaganya atau tidak.” Ujar Hiro sontak membuatku terpaku.
Kata-katanya membuatku seolah tak ada harganya, seolah aku ini hanya barang murahan, seolah aku ini hanyalah....
Bahkan aku tak pernah bersentuhan dengan pria sekalipun, satu-satunya yang ku sentuh hanyalah Hiro.
“Apa? Jangan ngelantur.” Ucapku sambil menjaga intonasi suaraku yang mulai bergetar.
“Lupakan.” Balas Hiro dingin.
Ia menarikku kembali ke boncengannya. Selama perjalanan, kami hanya diam saja. Ucapannya masih terngiang dalam benakku. Ini pertama kalinya ia mengucapkan kalimat yang begitu jahatnya kepadaku.


Why do the important things fade in transience?
Even kindness can change the color of a smile
With sharp words lined up, our feelings collided
The violence I tossed out cut into my chest
***
“Apa? Jangan ngelantur.” Ucapnya lemah dengan tatapan yang sama sekali tak fokus. Kulihat jemari yang terbilang seperti biting itu saling merengkuh satu sama lain, gugup.
Mungkin aku terlalu kasar, “Lupakan.” Balasku saat tak tau harus berkata apa lagi.
Aku langsung mengantarnya pulang tanpa mengatakan sepata kata. Mungkin ini terakhir kalinya ia bisa duduk di jok sepeda motorku ini, mungkin ini terakhir kalinya aku bercakap-cakap dengannya.
Sesampainya di rumah, aku segera mencari kotak yang berisi berbagai hal yang berhubungan dengan Misako. Setelah aku mendapatkan kotak itu, sekali lagi aku membukanya. Sekali lagi aku terjebak dengan kenangan-kenangan indah bersama Misako.
Aku mengambil sebuah foto polaroid, aku dan Misako tersenyum cerah. Matanya yang seperti bulan sabit saat tersenyum, matanya yang selalu menenangkan, dan suaranya yang selalu ingin ku dengar setiap hari. Aku yakin, aku masih memiliki rasa yang sama seperti waktu itu, bahkan perasaanku semakin tumbuh. Aku ingin memiliknya seutuhnya, aku ingin menjadi pemimpinnya.
Tiba-tiba terngiang suara Misako di kepalaku, “Kau yakin dengan keputusanmu?.”
“Aku tidak setuju jika kau masuk ke perguruan tinggi seni. Apa kata orang-orang nanti? Seni itu hanya untuk orang-orang yang tidak punya harapan. Sedangkan kau memiliki bakat untuk jadi insinyur. Aku yakin.” Ujarnya dengan nada yang... ah sudahlah.
Aku ingin mengenyahkan suara itu dari kepalaku, namun pertengkaran kami justru mencuat dan seperti memang ingin menyiksaku.
“Kau tau apa tentang seni?”
“Aku tau bahwa seni itu tak membawa untung banyak, percayalah.”
“Kau tau, kepercayaanku padamu nampaknya mulai luntur.”
“Apa? Hanya karena seni, kau tidak percaya denganku? Wah, hebat.” Ujarnya sok tegar kemudian air mata mulai mengaliri pipinya.
“Yang kau bisa hanyalah menangis, kau merasa tersakiti. Padahal kaulah yang menyakitiku. Jika kau tetap egois seperti itu, tolong siap-siap untuk tidak menerima perasaanku lagi. Mungkin aku akan berhenti mencintaimu.” Ujarku kemudian pergi meninggalkan Misako yang air matanya semakin banyak keluar.
Tujuanku seakan-akan menghilang; seni dan Misako. Keduanya penting bagiku, dan kemungkinan terburuknya aku akan kehilangan keduanya.
Aku kejam. Aku bodoh. Aku mencintainya, mana mungkin aku bisa berhenti mencintainya? Seharusnya aku memeluknya waktu itu, tapi aku tak bisa. Amarah yang memuncak waktu itu tak dapat ku kendalikan. Semuanya terjadi begitu saja.
I love you, but I can’t love you
Your teary eyes appear too dazzling too late, as irritation grows
I want to embrace you, but I can’t embrace you
I lose my destination, from my hands
It falls away, hey, the fact that I love you

Semenjak aku meninggalkan kampung halaman, aku tak menghubungi Misako sekalipun. Amarah yang masih mendiami diriku tak kunjung pergi, namun entah mengapa aku merasa sepi tanpa Misako. Beruntungnya, setelah enam bulan aku berada di kota ia mendatangiku. Ia meminta maaf atas apa yang telah ia lakukan kepadaku. Duniaku telah kembali, Misako telah datang kepelukanku.
Rasanya ingin seperti itu lagi, datang ke pelukanku dan keadaan kembali seperti semula. Aku ingin mengutarakan padanya bahwa aku mencintainya. Aku tak menginginkan apapun selain Misako.
Just when did we get lost, veering away from each other?
The more I desire, the more I lose love
Tell me, where is it? There’s nothing I want
If I can say “I love you” without doubt, will I be able to go to you?

Ya, kali ini aku akan datang padanya. Aku berlari sekuat tenaga menuju rumahnya yang kira-kira berjarak 2,5 kilometer dari rumahku. Aku akan mengatakan bahwa aku mencintainya.
Jodoh. Aku melihatnya sedang berdiri di depan rumahnya. Aku berlari semakin kencang ke arahnya, aku ingin segera memeluknya.
Muncul ayah Misako dari dalam rumah bersama seorang lelaki muda entah siapa itu. Aku terhenti saat ayah Misako menggenggamkan tangan Misako ke tangan lelaki muda itu.
Aku mendekat, nafasku tercekat sekaligus terengah-engah.
“Apa maksudnya ini?” Ujarku sambil mengatur nafas.
Misako menunduk, ia tak mau memandangku.
“Oh, Hiro-kun. Ini tunangan Misako.” Ujar ayahnya ringan.
Refleks, aku menarik Misako. Ku genggam bahunya, “Kau, pasti bercanda. Iya kan?”
Tubuhnya tak berdaya, ia tak menjawab pertanyaanku. Aku semakin gelisah, ku guncang pelan bahu mungilnya itu sampai ia menjawab pertanyaanku.
Ia menatapku pilu, “Maafkan aku, Hiro-kun.” Ujarnya membuat tubuhku seakan mencair.
Tidak. Ini tidak benar.
***
“Apa maksudnya ini?” ujar Hiro-kun kacau.
Aku tak berani memandangnya, aku takut bahwa aku akan meminta Hiro-kun untuk membawaku pergi.
“Oh, Hiro-kun. Ini tunangan Misako.” Ujar ayah.
Hiro-kun menarikku ke hadapannya sehingga tanganku terlepas dari genggaman orang itu. Entah mengapa aku justru bersyukur ia menarikku seperti ini.
Ia kacau, benar-benar kacau, “Kau, pasti bercanda. Iya kan?”
Ayahku menjodohkanku dengan orang itu. Aku tak dapat membantah perintah ayah untuk segera menikah.
Air mataku sudah memenuhi kantung mata, “Maafkan aku, Hiro-kun.” Ujarku kemudian segera mengalirkan air mata yang sudah terbendung sedari tadi.
Hiro-kun bukan hanya kelihatan kacau, ia putus asa. Air matanya mulai mengalir, aku tak ingin melihatnya menangis seperti ini. Hatiku terasa kacau, melihat air matanya mengalir begitu saja dan juga tentang perjodohan yang tak dapat dibatalkan ini.
“Misako, aku mencintaimu. Aku mencintaimu, aku ingin hidup bersamamu seutuhnya.” Ujarnya serius, tulus, dan dalam.
“Maaf..” ucapku sebelum akhirnya melarikan diri darinya, aku masuk rumah.
Semakin aku menatapnya, semakin aku ingin bersamanya. Aku mencintainya lebih dari apapun. Aku ingin kembali ke masa itu, masa dimana semuanya baik-baik saja. Saat aku dapat mengucapkan ‘aku mencintaimu’ dengan jujur. Saat aku ingin terus bersamanya, selalu berada disampingnya.
I want to go back, but I can’t go back
The too innocent place sways in the sunlight of my memories
I want to understand, but I don’t understand
I hurt you as I struggled
What I want to say, hey, is the fact that I love you
Ahh, if it can come true, let us start from when we didn’t even know each other’s names
Let me meet you once again and reach this point with you
***
Tenggorokanku sakit, aku menahan tangisan walaupun air mataku telah mengalir begitu deras. Rasa sakit tenggorokanku ini masih belum ada apa-apanya daripada hatiku ini yang terluka karena tak dapat memilikinya.
“Misako, aku mencintaimu. Aku mencintaimu, aku ingin hidup bersamamu seutuhnya.” Kata-kata ini keluar begitu saja. Alam bawah sadar? Entah, yang jelas aku memang mencintainya.
“Maaf..” ujarnya sebelum pergi meninggalkanku.
Dunia terasa begitu lambat, aku ingin meraihnya. Aku ingin merengkuhnya dalam pelukku. Hal ini terasa janggal. Kesalahan demi kesalahan selalu datang silih berganti.
Aku berbalik arah, menuju lelaki tunangan pacarku itu. Seperti seorang petinju yang habis duel, seluruh kekuatanku habis. Aku lemah.
Ku paksakan sebuah senyuman, “Tolong jaga Misako-ku, berbahagialah dengannya.” Ujarku kemudian berjalan gontai meninggalkan tempat kejadian yang memilukan.
Aku ingin memeluknya, setidaknya untuk mengucapkan selamat tinggal. Tapi, mana bisa? Akan begitu menyakitkan jika ia melihatku. Begitu juga sebaliknya. Aku bisa merasakan air mata kesedihannya, aku bisa merasakan rasa rindu yang ia miliki terhadapku.
Semuanya telah berakhir.
Can I just embrace you without words?
Hey, you remain pale as tears color your cheeks and dampen your heart
Mistakes and mistakes mix and worsen
Just teach me how to rewind back to that day

Sehari setelah kejadian itu, aku menerima pesan singkat darinya. Ayo bertemu untuk yang terakhir kalinya, begitu isinya. Aku segera menuju ke bukit dekat rumanya, tempat pertemuan kami.
Setibanya disana, yang segera ingin ku lakukan hanyalah memeluknya. Tak lebih. Matanya sayu karena menangis, mata itu menatapku dalam. Ia semakin mendekat berjalan ke arahku.
Ia merengkuhku pelan, “Sayonara, watashi no koi.” Ujarnya lemah membuatku tak berdaya.
Munafik jika aku hanya ingin memeluknya, kini aku mengecup bibrnya. Tak sadar mataku mengeluarkan cairan bening yang hangat. Aku menangis.
Kemudian aku mundur satu langkah darinya, “Aku tak akan kembali.”
Alisnya terangkat sebelah, “Apa?”
“Aku akan menetap di Tokyo dan tak akan pernah kembali ke sini.”
“Ah, semoga sukses.”
“Selamat tinggal.”
“Ya, selamat tinggal.”
Kami salaing menatap sebentar untuk kemudian sama-sama berbalik kanan. Dengan langkah yang berat, aku meninggalkan tempat itu.
Bukan hanya langkah yang semakin berat, dadaku juga terasa sama beratnya. Aku berlari menuruni bukit, berlari melewati jurang seperti orang gila.
“Hiro-kun! Hiro!” Teriak seseorang dari belakang terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
Misako, suara ini milik Misako seorang. Langkahku terhenti dan otomatis menghadap ke sumber suara. Dari kejauhan, ia mencoba untuk berlari sekencang-kencangnya.
“Hiro-kun, aku mencintaimu! Aku mencintaimu!” teriaknya dari kejauhan sambil berlari ke arahku.
Aku bernafas lega, ia masih mencintaiku.
Namun nafas lega ini bagaikan fantasi saja. Misako terpeleset dan akhirnya ia jatuh ke jurang.
“Misako... Misako!!!!!!” ujarku sembari berlari ke arah Misako.
Dari tepi jurang, terlihat rona merah menyebar ke berbagai arah. “Tidak mungkin, Misako bertahanlah!” teriakku seperti orang sinting.
Aku menuruni tebing itu dengan hati-hati, tebing yang tingginya hanya lima belas meter itu. Tapi mengapa ada begitu banyak darah disana?
“Misako! Bangun Misako!” Ujarku setelah berhasil merengkuh Misako ke pangkuanku.
Aku terus berteriak, memanggil-manggil nama Misako supaya ia sadar dan membuka mata. Namun tidak ada yang terjadi. Denyut nadinya, nafasnya, semuanya nihil.
“Misako!!!” Sekali lagi aku berteriak kencang sekali.
Kenapa hal ini dapat terjadi padaku? Kepada orang yang aku cintai? Kini, aku benar-benar kehilangan tujuanku. Misako, cintaku, sumber inspirasi karya seniku kini telah tiada. Duniaku, telah pergi.
I love you, but I can’t love you
Your teary eyes appear too dazzling too late, as irritation grows
I want to embrace you, but I can’t embrace you
I lose my destination, from my hands
It falls away, hey, the fact that I love you

-END-

Komentar

Postingan Populer