Compilations Feeling Through The Coffee: Mocaccino

Title                       : Compilations Feeling Through The Coffee
Sub Title               : Mocaccino
Genre                   : Romance
Type                      : Oneshot
Author                  : Ucii Pradipta
Cast                       : Kei Inoo [HSJ], Nakajima Yuto [HSJ] , Switch [SKETDANCE], Yuki [OC], Ichiko [OC] dan segelintir karakter yang nongol sebentar lainnya.
Disclaimer           : This is Just a fanfiction. Fanfiction ini masuk dalam projek “Kompilasi Rasa Kopi” yang saya buat. Dan cerita pertama sudah terbit di blog pribadi saya dengan sub judul Vanila Latte yang bisa kamu akses di sini. Karena merindu berkarya fanfiction, dan mengikuti member yang lagi hits akhirnya Mocaccino berhasil saya terlurkan (?) Karena masih berproses, kritik dan saran sangat saya terima dengan senang hati. Please enjoy the story! Luv luv <3

Compilations Feeling Through The Coffee
“Mocaccino”



Serbuan salju yang turun dari langit menghiasi langit New York. Bak utusan tuhan yang menyapu jiwa-jiwa pendosa, salju melingkupi seluruh kota New York dengan warna putihnya yang begitu suci.

“Ah, salju mulai turun lagi..” ucap seorang gadis yang baru saja keluar dari suatu gedung. Aksen bahasa ibunya tak dapat ia hilangkan begitu saja.

Ia menengadahkan tangannya ke langit, ia meringis karena dingin salju yang tak dapat ia tahan. Namun ekspresi getir muncul setelahnya.

“Yuki-san,” ucap gadis berambut pirang alami khas orang barat.

Gadis berwajah oriental bernama Yuki itu berbalik karena mendengar namanya disebut. Air mukanya berubah jadi ceria.

“Oh! Jannie-san. Ada apa, cantik?”  ucap Yuki sembari memamerkan mata bulan sabitnya ketika tersenyum.

“Sudah mau pulang ya? Salju sudah mulai turun. Hati-hati di jalan ya. See ya tomorrow!” ucap salah seorang gadis berambut pirang.

“Aaah.. see ya tomorrow!” balas Yuki sambil melambaikan tangannya. Aura kelabu kini muncul kembali di wajahnya.


Jam tangan ia lirik, “Aku harus segera menemui Switch-kun.” Kemudian ia berlari menerobos hujan salju yang dingin itu.

Ia berlari ke arah taman kota. Udara dingin nampaknya bukan masalah untuknya, karena ia ingin menemui seseorang yang ia sayangi. Bahkan Yuki juga sempat senyum-senyum sendiri ditengah nafasnya yang terengah-engah karena ia terus berlari tanpa henti.

Setelah melihat punggung orang yang ia sayangi itu, kakinya tiba-tiba berhenti berlari. Selain karena berlari, jantungnya berdebar cepat karena alasan lain. Ia akan segera bertemu dengan orang yang special!

Setelah ambil nafas yang cukup, ia berlari lagi mendekati lelaki itu. Ia melompat ke arah lelaki itu untuk mengagetinya.

“Kita jadi pergi bersama kan, Switch-kun?” ucap Yuki sambil merangkul salah satu lengan lelaki itu.
Karena lelaki itu bereaksi kaget yang bukan diinginkan, Yuki bingung sejadi-jadinya. Ditambah lagi, ada seorang gadis bersama Switch-kun. Bahkan gadis itu juga menangis.

“Souka.. aku mengerti. Berbahagialah bersama wanita ini” ujar gadis itu sebelum melarikan diri.
Baru akan bergerak untuk mengejar gadis itu, genggaman tangan Yuki semakin erat di lengan Yuki seraya berkata ‘Tidak, jangan kejar gadis itu. Kau milikku!’.

“Siapa gadis itu? Seberapa penting gadis itu untuk Switch sehingga ia ingin mengejarnya seperti itu?” pertanyaan yang terus muncul di kepala Yuki.

“Apa specialnya wanita itu? Aku masih disini. Aku masih sayang kamu. Aku ingin kita seperti dulu lagi.” Ujar Yuki seakan tak ingin kehilangan lelaki ini.

Gadis itu nampak frustasi karena ia tak mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Kemudian ia memberanikan diri untuk mengecup bibir lelaki itu. Ciuman yang lembut. Tak ada paksaan. Namun terasa menyakitkan karena keduanya memiliki perasaan yang berbeda. Cinta satu arah.

“Aku, aku tidak bisa seperti ini terus.” Ucap Switch setelah ciuman tersebut berakhir.

“Eh?” gumam Yuki tak percaya apa yang barusan ia dengar.

“Hari ini aku mengajakmu bertemu, karena ada yang ingin ku ucapkan kepadamu. Aku memang merasa bersalah karena aku pernah mengabaikanmu dulu. Fakta bahwa aku mencintaimu itu memang pernah benar. Tapi aku tak bisa bersama denganmu lagi.”

“Eh? Nande? Uso!” balas Yuki dengan nada yang bergetar.

“Kamu tak perlu memikirkanku lagi. Kamu tak perlu terjebak dalam nostalgia bersamaku. Kamu tak bisa terus-terusan mengharapkan masa lalu hadir dalam hidupmu bahkan masa depanmu. Aku ingin kamu bergerak maju. Aku tak ingin gadis seperti dirimu tak dapat berkembang karena kehadiranku yang justru menghambatmu tumbuh.”

“Tidak! Aku tidak ingin dengar! Yang ku tahu, Switch yang dulu akan..”

“Switch yang dulu?” ucap Switch kemudian melangkah mendekati Yuki. “Raga ini memang masih Switch yang dulu. Tapi hati ini, perasaan ini, sudah dimiliki oleh orang yang berbeda.” Tangannya meraih Tangan Yuki kemudian ia lekatkan di dadanya.

“Apa kau bisa mendengar, jantung ini berdebar bukan untukmu lagi? Lupakanlah aku, aku tak ingin melukaimu lebih dari ini karena kamu adalah cinta pertamaku. Lupakanlah aku, berjalanlah maju tanpa menoleh ke belakang. Lupakanlah lelaki brengsek ini.” Lanjut Switch yang hanya dibalas dengan tatapan tidak percaya.

Air mata Yuki perlahan mengalir dari sudut matanya. Ia menarik tangannya dari genggaman Switch. Tamparan ia layangkan di pipi Switch yang agaknya mulai mengeras karena hawa dingin yang tiada duanya.

***

“‘Sayonara, watashi no hatsukoi.’ Begitulah kataku setelah menamparnya sangat keras.” Ucap Yuki kemudian menyeduh mocaccino hangat kesukaannya.

“Bhahahahahahha!” curhatan Yuki justru dibalas dengan tawa yang terbahak-bahak.

“Oii! Kurang ajar! Malah tertawa! Jahat sekali! Dasar Inoo-chan!” ucap Yuki sebal.

“Habisnya, kayak dorama banget sih! Dorama mitai!” ejek pemuda bernama Kei Inoo.

“Sial! Aku nggak akan curhat lagi sama kamu!”

“Halah, gitu aja ngambek. Kamu aja yang disakiti sama si kacamata itu malah nggak pernah marah, kan? Kamu itu sudah dibodohi, Yuki-chan!” ujar Inoo seirus.

“Sebodoh-bodohnya wanita yang dikhianati, masih lebih bodoh orang yang menertawai temannya ketika patah hati!”

“Kamu sih, berpikiran sempit! Padahal ada lelaki lain yang bahkan tidak terima kalau kamu menitihkan satu air mata sekalipun!” ucap Inoo sambil menepuk dadanya bak pahlawan gagah berani.

“Cih! Aku mau pesan makanan lagi nih. Kamu mau pesan lagi nggak?” balas Yuki mengalihkan pembicaraan.

“Hmmm..” gumam Inoo sembari membolak-balikkan buku menu di hadapannya. Sedeitk kemudian ia menutup buku menu tersebut sambil tersenyum.

“Aku mau pesan ini saja deh.” Ujar Inoo dengan nada yang ceria.

“Pesan apa?”

“Aku mau pesan cinta aja dari kamu.” Ujarnya dengan memamerkan senyuman yang membuat hati siapa saja meleleh jika melihatnya.

“Aku tidak mungkin bersama orang yang bahkan lebih cantik daripada aku! Aku tidak sudi!” balas Yuki sambil mencoba untuk memukul Inoo yang sedang merayunya itu.

“Ah iya aku bercanda! Sudah sana buruan pesan makanan lagi!” ucap Inoo mencoba mengalihkan pembicaraan.

Saat Yuki berjalan ke arah kasir, diam-diam Inoo menatapnya dari tempat duduk. Tatapan yang menyedihkan dan juga pasrah.

“Sampai kapan kamu mau mengabaikan perasaanku ini, Yuki-chan?”


***


Cahaya matahari menyelinap memasuki ruangan sepi itu. Seorang pria tengah asyik memainkan jemarinya yang lentik diatas tuts-tuts piano. Bunyi langkah kaki di atas lantai kayu yang terdengar disela-sela lantunan manis piano itu membuat sang pianis menghentikan permainannya.


“Wah, kenapa berhenti? Aku suka lagunya!” ucap seorang lelaki berkacamata.

“Aku tidak memainkan lagu ini untukmu.” Balas sang seniman muda itu.

“Hmm, padahal aku ada niatan untuk membeli lagu itu untuk jadi soundtrack game yang aku buat. Sayang sekali!”

Keduanya kini saling berhadapan satu sama lain. Melemparkan tatapan sedingin es yang bahkan seekor beruang kutub akan menggigil karenanya.

“Ada maumu, Switch?” tanya Inoo tanpa basa-basi.

“Aku punya permintaan. Bisakah kau terus bersama Yuki? Sampai ia bisa lupa terhadapku?”

“Cih! Aku akan menjadi sentimental jika kau terus menyakiti Yuki. Sampai kapan kau akan mempermainkannya? Kau bukan remaja lagi.” Balas Inoo yang mulai naik pitam.

“Aku mohon. Jagalah Yuki. Aku tahu kau mencintainya. Aku tahu kau ingin melindunginya dan membuatnya bahagia. Aku juga seperti itu, aku ingin melindungi dan membuat gadis yang kucintai bahagia. Aku mencintai Ichiko. Kau mencintai Yuki. Aku akan bersama dengan Ichiko dan kau akan bersama Yuki.”

“Tanpa kau minta pun, aku akan melakukannya. Jika kau berharap aku akan menghajarmu, maaf saja. Aku tidak akan menggunakan tanganku untuk hal seperti itu.”

“Ya, tentu saja. Seorang pianis harus menjaga jemarinya yang lentik.”

Sejurus kemudian, Inoo melangkah maju. Ia menarik kerah Switch dengan emosi. Matanya penuh dengan kebencian serta rasa tidak percaya yang beradu menciptakan aura yang tak dapat di deskripsikan.

“Mulai sekarang jangan pernah muncul di hadapannya lagi. Jangan pernah hubungi Yuki lagi. Bahkan kalau perlu, blacklistlah nomornya! Menghilanglah dari hidupnya!” ucap Inoo tegas.

***

Salju makin sering meramaikan langit New York tiap sore membuat orang-orang bergiliran masuk ke kedai kopi. Di meja paling ujung, dekat jendela terlihat seorang gadis yang sedang asyik menghirup aroma khas mocaccino hangat. Bukannya segera di minum, secangkir mocaccino tersebut justru di letakkan kembali di meja sembari menghela nafas panjang.

“Ah, rasanya nikmat sekali mencium aroma mocaccino ini. Seperti dapat membuatku tenang.” Ujar gadis itu yang penampilannya hampir mirip mayat hidup.

“Yuki, tampangmu sudah tak layak untuk ukuran mahasiswa tata busana.” Ejek lelaki dengan rambut seperti jamur.

“Tau nggak, kenapa aku bisa begini, Inoo-chan.” Ujar Yuki dengan tatapan yang kosong.

“Hmm, kenapa?” balas Inoo sambil meraih secangkir mocaccino hangatnya.

“Switch-kun menghilang. Benar-benar menghilang. Ia tega sekali terhadapku.” Air mata yuki mulai mengintip di sudut-sudut matanya.


Bagi Inoo, kini rasa nikmat mocaccino samar-samar terasa hambar dan terdapat sensasi dingin yang janggal. Mocaccino yang seharusnya nikmat ini, justru memperparah perasaan Inoo.

“Mungkin sudah saatnya kamu melupakan dia. Jangan sebut namanya lagi. Sudah saatnya kamu melangkah maju. Masa lalu tak akan bisa kamu bawa di masa depan. Masa lalu hanyalah kenangan yang tertinggal dalam benakmu.


Jika kamu terpuruk dimasa depan, kamu tak bisa menyalahkan masa lalumu. Kamu terpuruk, karena kamu selalu membawanya kemana-mana. Karena kamu selalu mengaitkan segala hal dengan masa lalumu. Lepaskanlah dirimu dari kegelapan masa lalu. Ingat, aku akan selalu ada disisimu. Aku tak akan membiarkanmu terpuruk.”

Suara Yuki seakan pecah karena tangisannya yang tak bisa ditahan lagi. Inoo mendekatinya, kemudian memeluknya dengan lembut. Berharap kasih sayangnya dapat tersalurkan kepada gadis yang tak kunjung melepaskan masa lalunya ini.


***


Tiap pukul lima sore di kedai kopi pinggir kota, Yuki dan Inoo selalu menghabiskan senja mereka bersama. Sekarang sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk menghabiskan secangkir mocaccino di sore hari.


“Hari ini melelahkan sekali, ada tugas kelompok dari dosen. Sial sekali, aku sekelompok dengan senior. Mereka membuatku mengerjakan semuanya sendiri. Mulai dari research sampai mendesain baju pun juga aku yang membuat. Tanganku serasa ingin putus dan kepalaku seperti akan meledak.” Oceh Yuki tentang kehidupan perkuliahannya di jurusan fashion.

“Sepertinya melelahkan. Kenapa nggak minta bantuanku?” tanya Inoo sembari meletakkan secangkir mocaccino yang tinggal setengah itu.

“Tidak. Aku tidak ingin mengganggumu. Kamu kan juga kuliah! Aku tidak ingin merepotkanmu, apalagi bergantung padamu. Lagi pula, aku harus belajar mandiri. Aku nantinya akan menjadi pemimpin di perusahaan keluargaku. Jadi, mengerjakan segalanya dengan tanganku sendiri nampaknya tak masalah, aku harus berusaha keras. Aku akan menyelesaikan masalahku sendiri.”


Inoo terpaksa menyembunyikan rasa kecewanya. Ia tahu bahwa gadis yang duduk di depannya ini ingin membawa perusahaan keluarganya lebih berkembang lagi di masa depan. Ia tak ingin merusak semangatnya itu. Lagi-lagi ia hanya bisa membuang jauh-jauh keinginannya agar Yuki mau bergantung padanya.

Sebuah senyuman muncul di bibir Inoo, “Baguslah kalau begitu! Kau harus tetap semangat!” ujar Inoo kemudian mengelus kepala Yuki lembut.

Smartphone Yuki berdering singkat, sebuah pesan telah ia terima. Jemarinya lincah ketika menggunakan ponselnya itu. Ia nampak tergesa-gesa setelah membaca pesan itu. Ia menyeruput kopinya dengan sekali tegukan.


“Aku harus ke kampus lagi. Sepertinya ada sedikit masalah.” Ujar Yuki sembari memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

“Kalau begitu ku antar ya?” ajak Inoo.

“Tidak. Aku akan berangkat sen...”

“Naik mobil akan lebih cepat sampai ke kampusmu.” Potong Inoo sebelum Yuki mengucapkan kata sendiri.

“Etto.. yasudah, maaf ya merepotkan!”


Tak sampai setengah jam, Inoo berhasil mengantarkan Yuki ke kampus. Selesai berterima kasih, Yuki langsung berlari ke dalam kampus. Yuki adalah orang yang jarang tergesa-gesa, hal ini membuat Inoo sedikit khawatir pada gadis itu.

Yuki berlari menuju kerumunan orang di dekat papan pengumuman. Semuanya menghebohkan apa yang tertempel di pengumuman tersebut. Ketika Yuki sampai disana, belasan pasang mata tertuju padanya.

Ada tiga foto yang terpampang di sana. Pertama, foto Yuki bersama dengan seorang senior pria yang sedang bergandengan. Kedua, foto senior yang sedang tersenyum ke Yuki. Dan terakhir, foto Yuki yang tanpa sehelai kain melekat ditubuhnya.

Selain itu, ada tulisan yang sangat membuatnya takut dan sekaligus marah. ‘She is a bitch. You can rent her as much you want. She has a wonderful body you can enjoy.’


“Wah, dia datang! berapa banyak yang perlu kubayar agar bisa bercinta denganmu?”

“Waah, gadis asia ini memang benar-benar murahan ya! Berani sekali mendekati kak Ben!”

“Ayo membuat JAV bersamaku!”

“Matilah kau! Menjauhlah dari Ben!”

Dan berbagai ocehan lain yang membuat Yuki merinding. Ia memberanikan diri untuk segera merobek foto-foto tersebut.

“Aku tidak bergandengan tangan dengannya. Dia hanya membantuku berdiri saat aku jatuh karena terlalu banyak membawa buku!” ucap Yuki membela diri.

Ya, memang benar jika di dalam foto tersebut terdapat buku-buku yang bertebaran di sekeliling Yuki. Seharusnya hal tersebut sudah cukup untuk menjadi bukti atas perkataan Yuki.

“Dan, foto ini! Ini editan! Aku tak pernah berpose seperti ini! Dan bahkan ini bukan tubuhku!” ucap Yuki lagi kemudian merobek foto tersebut.

“Ah, yang benar? Bukannya kau yang memintaku agar mengambil gambar tersebut sebelum kau melakukan itu bersamaku?” ucap seorang pria dari balik kerumunan.

“Hah! Ben! Bagaimana rasanya bercumpu dengan cewek Jepang ini?” ujar yang lain.

Seorang yang di panggil Ben itu kini berjalan mendekat ke arah Yuki. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Yuki dan berbisik lirih.

“Sen.. senior..” gumam Yuki setelah melihat pria yang berada di foto itu.

“Ini sebebnya kalau kamu menolak berkencan denganku.” Ujarnya kemudian merangkul Yuki.

“Lepaskan aku! Lepaskan aku!” ucap Yuki sembari mencoba memberontak.

“Wah, mulai berani kamu!” balas sang senior kemudian mendorong Yuki sampai jatuh.

Belum sempat berbuat hal yang mengerikan, sebuah pukulan mendarat di wajah Ben. Sebuah pukulan yang datang dari seorang pria yang berwajah cantik khas oriental.

“Inoo-chan..” gumam Yuki ketika melihat Inoo berhasil membuat senior kurang ajar itu mundur.

“Siapa dia? Wah imut sekali! Aku harus menjadikannya model!” gumam orang-orang yang melihat wajah Inoo yang sangat menarik.

“Kalau mau menjebak orang yang pintar dong! Lihat, foto wanita tanpa pakaian ini terlihat sangat tidak masuk akal. Bayangan yang ada di mata dan di leher begitu berbeda. Dan juga lihat ini, editannya masih terlihat sangat jelas. Kalau mau dibilang laku, jangan begini dong caranya! Dasar ayam kampus!” kata Inoo memaki-maki pria bernama Ben itu.

“Iya, benar. Foto yang tersenyum itu, itu juga di crop! Itu merupakan foto grup di taman beberapa waktu lalu!” ucap Jannie.

Kerumunan itu mulai riuh, dan membenarkan kata-kata Jannie. Sang aktor utama, senior Ben nampaknya sudah mulai kehilangan mukanya di kampus.

“Dan aku juga melihat kak Yuki memang jatuh saat membawa buku-buku yang banyak! Dan yang mendekati duluan itu kak Ben. Dengan sengaja memegang tangan kak Yuki! Aku saja lihat wajah jijik di muka kak Yuki ketika kak Ben melakukan itu! Dasar kak Ben sampah! Jangan ada yang percaya dengan dia!” ucap seorang junior imut bermata biru laut yang menenangkan.

Kemudian orang-orang menyumpahi Ben semampu mereka dengan berbagai bahasa yang mereka tahu. Kerumuman pun bubar dengan sendirinya, mereka merasa di bodohi oleh Ben. Dan merasa kasihan kepada Yuki.

Inoo membantu Yuki berdiri. Dengan kaki yang lemas dan juga masih trauma karena hal buruk tadi, Yuki berjalan terhuyung.

“Heh, kau lelaki sok pahlawan! Kau pacarnya, Yuki? Huh, kau kira siapa dirimu berani membuat wajah tampanku ini babak belur?” ucap Ben kemudian melakukan serangan balik ke Inoo.

Sudut bibir Inoo mengeluarkan sedikit darah. Membuat Yuki khawatir setengah mati. Walaupun tubuh Inoo terlihat kurus, ternyata ia cukup tangguh juga dalam pertempuran semacam ini. Ia berhasil mejatuhkan lawannya hingga kapok.

“Wajahmu babak belur, karena moralmu yang sudah hancur duluan!” ucap Inoo sebelum akhirnya ia melepaskan kerah Ben.

“Satu lagi, jangan dekati Yuki lagi!” ujar Inoo kemudian meninggalkan Ben berbaring tak berdaya di lantai seperti orang buangan.


***


Suasana di dalam mobil menjadi aneh. Tak ada suara disana, bahkan radio sekalipun tak juga dinyalakan.

Yuki menutup mulutnya, ia diam karena melihat Inoo terlihat marah kepadanya. Matanya tertuju pada tangan Inoo. Tangan indah yang lentik itu kini memar dan bahkan sedikit berdarah. Yuki merasa bersalah.


“Inoo-chan... Inoo-chan..” Yuki mencoba memecahkan suasana hening namun tak ada tanggapan sama sekali.

Mobil berhenti, karena lampu merah yang menahan mereka untuk tidak menerobos jalanan. Yuki pikir ini adalah sebuah kesempatan untuk meminta maaf. Ia meraih tangan Inoo yang bebas.

“Inoo-kun, maafkan aku. Tanganmu sampai luka begini karena aku, maafkan aku.” Ucap Yuki lemah.

Inoo melirik Yuki, ini pertama kalinya ia dipanggil Inoo-kun olehnya. Sudut bibirnya terangkat menyimpulkan sebuah senyuman yang ia sembunyikan dengan tangannya. Namun ia masih belum memberikan jawaban kepada Yuki.

“Aku sangat khawatir padamu. Aku tak ingin kamu berhenti main piano gara-gara aku. Maafkan aku..” kini Yuki mulai menangis. Air matanya menetes ke tangan Inoo yang ia genggam.

“Rasa khawatirku lebih besar daripada rasa khawatirmu. Aku lebih khawatir dengan keselamatanmu.  Apa jadinya kalau kamu terluka? Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai kamu terluka.”

“Inoo-kun..” gumam Yuki yang nampak speechless mendengar jawaban Inoo.

“Aku ini seorang lelaki, tolong anggaplah aku sebagai seorang lelaki. Aku ingin melindungimu, sangat. Aku ingin membuatmu bahagia, setiap saat. Aku tidak ingin kamu terluka, selalu. Bergantunglah padaku. Karena aku mencintaimu...” akhirnya Inoo mengungkapkan perasaannya secara gamblang.

Suara klakson tak henti-hentinya membuat keramaian. Mobil yang ia kendarai itu masih berhenti saat lampu merah sudah berganti ke lampu hijau. Yuki melepaskan tangan Inoo dan membuang muka, ia menatap keluar jendela. Dan Inoo akhirnya tersadar karena pengendara mobil lainnya sudah mulai naik pitam. Mobil tersebut akhirnya melaju, kini kembali ke keadaan semula. Hening.

Beberapa hari setelah kerjadian tersebut, keduanya tak saling menghubungi. Baik Yuki maupun Inoo, keduanya masih berdiri di zona aman. Meskipun Inoo telah melakukan tindakan berani dan telah menyatakan perasaannya terhadap Yuki.

Yuki adalah satu-satunya yang tak percaya bahwa lelaki cantik itu kini benar-benar berubah menjadi seorang pria dewasa. Ia masih saja membayangkan bagaimana ia diselamatkan oleh Inoo. Bagaimana secara spontan ia menggunakan –kun daripada –chan untuk memanggil Inoo setelah kejadian itu.
Selasa sore, Yuki datang ke kedai kopi pinggir kota yang biasa ia datangi bersama Inoo. Saat Yuki melihat meja paling pojok dekat jendela sudah digunakan oleh sepasang kekasih, ia merasa tersiksa. Fantasinya mulai mempengaruhi pengelihatannya.

Dimata Yuki, lelaki yang duduk itu adalah Inoo. Sedangkan wanita yang duduk didepan lelaki itu tidak lain adalah dirinya sendiri. Sebuah kenangan manis muncul disana. Saat keduanya tertawa bersama, saat menikmati menu baru yang ada di kedai, saat ia menangis dan Inoo menghiburnya. Kenangan-kenangan itu muncul begitu saja saat ia melihat meja yang biasa ia gunakan itu.
Yuki segera menyadarkan dirinya sebelum ia terjatuh dalam lubang kenangannya lagi. Buru-buru ia ke meja kasir untuk memasan mocaccino kegemarannya itu. Lalu segera menempati meja yang kosong.

Tak lama kemudian, secangkir mocaccino diletakkan di depannya. Aroma khas kopi tersebut membuat Yuki tersenyum namun juga merasa sedih, karena tak ada yang menemaninya minum kopi tersebut. Ia menunduk sedih.

Namun tiba-tiba ada seorang yang menaruh segelas frappe di mejanya dan duduk dihadapannya begitu saja. Yuki kaget melihat siapa yang duduk di depannya itu. Orang itu tersenyum padanya, bahkan Yuki saja tidak mengenali orang itu sama sekali.


“Siapa kamu?” ucap Yuki dengan bahasa Inggris namun berlogat Tokyo. Orang itu justru semakin tersenyum lebar, membuat Yuki semangkin kebingungan.

“Ahhh, syukurlah aku bertemu dengan orang Jepang!” ujarnya dengan wajah yang lega.

“Kenalkan, namaku Yuto! Aku sedang mencari orang Jepang yang pandai bermain piano disini.” Lanjut pemuda dengan rambut pirang.

“Ah, begitu. Namaku Yuki. Salam kenal, dik!” balas Yuki setelah mengetahui bahwa lelaki yang didepannya ini ternyata masih SMA.

“Yuki-neesan, kenapa kau terlihat sedih? Apakah kau bertengkar dengan pacarmu?” ucap pemuda itu sembari menikmati frappe yang telah ia pesan.

“Anak kecil tidak perlu tahu urusan orang dewasa!” ucap Yuki agak kesal karena ia teringat Inoo.

“Kenapa marah-marah begitu?” balas Yuto bingung sambil memanyunkan bibirnya.

“Yuto-kun! Kenapa kau disitu, ayo pulang!” ujar seorang lelaki paruh baya dengan suara yang berat.

“Ayah!” balas si pemuda pirang agak kaget.

“Maaf telah membuat keributan dengan nona. Maafkan anak saya ini.” Ucap sang ayah sambil menunduk minta maaf, ia juga menyuruh anaknya menunduk.

“Ayah, pinjam kameranya! Aku ingin berfoto dengan nee-chan ini!” ujar Yuto kemudian mengambil salah satu kamera yang dibawa ayahnya.


Yuto mengambil sebuah kamera polaroid. Ia menunduk mendekati nee-chan dadakannya itu, kemudian berpose V sambil tersenyum tanpa bersalah. Setelah foto tercetak dari kamera polarodi tersebut, Yuto berkata bahwa nee-chan sangat manis di dalam foto tersebut dan mengatakan bahwa dirinya terlihat sangat tampan dan keren di foto tersebut. Hal ini membuat Yuki tertawa dalam batinnya, ia baru bertemu dengan seseorang yang konyol seperti ini.

“Sore jya matta, nee-chan!” salam perpisahan dari pemuda bernama Yuto tersebut yang membuatnya lega.

Dengan kepergian pemuda konyol tadi sukses memunculkan kepiluan yang sempat ia lupakan sesaat tadi. Ia merindukan Inoo. Ia harus berbicara dengan Inoo secepatnya.


***


Di dalam apartemennya yang mewah, Inoo melepas perban di tangannya secara perlahan. Luka-lukanya mulai sembuh dan sudah tidak terasa sakit lagi. Namun masih ada satu luka yang belum sembuh, hatinya masih terluka karena Yuki menolak pernyataannya waktu itu.

Bel pintu apartemennya berbunyi, membuatnya harus melupakan urusan pribadinya sesaat. Inoo berharap bahwa yang memencet bel ada Yuki. Jika hal tersebut benar terjadi, ia akan memeluk Yuki langsung tidak peduli apa yang akan terjadi nantinya.

Namun hal itu hanyalah harapan belaka. Seseorang yang tak ia kenal berdiri di depan pintu. Dengan gaya ala traveler, lelaki dengan rambut pirang menunggunya untuk memberikan izin masuk ke dalam apartemennya.


“Jadi, kamu yang bernama Kei Inoo?” ucap lelaki berambut pirang itu setelah diberikan izin masuk ke apartemen Inoo.

“Ya.. anda sendiri siapa ya?” tanya Inoo sopan.

“Ah, jangan memakai bahasa formal seperti itu. Aku ini lebih muda darimu! Kenalkan, aku Nakajima Yuto!”

“Nakajima? Aah... kamu anaknya pak Nakajima fotografer itu?” balas Inoo yang akhirnya ingat seseorang yang berhubungan dengan orang yang ada di depannya ini.

“Ya! Aku dengar Kei-san ini adalah pianis berbakat? Aku mau minta tolong!” ujar Yuto sedikit merengek seperti anak kecil.

“Ini urusan laki-laki, jadi aku harap kau serius akan membantuku.” Lanjut Yuto dengan air muka yang serius.

Inoo menempatkan dirinya di depan piano sembari mendengarkan cerita pemuda yang bersemangat itu. Walaupun semangatnya tersebut terlihat sedikit norak. Namun Inoo sangat menghargai tujuan Yuto jauh-jauh datang ke sini hanya untuk meminta bantuan darinya.

“Mohon bantuannya!” ucap Yuto sembari bersalaman dengan Inoo.

Inoo merasakan kekuatan dari genggaman tangan Yuto. Ia juga tersadar, bahwa ia juga harus tetap berjuang meskipun menerima penolakan.

Hari semakin larut, Yuto bersiap-siap untuk pulang ke Jepang. Tak sengaja, ia menjatuhkan ‘buku paduan menjadi yang teratas’ di dekat Inoo. Dalam buku tersebut terselip sebuah foto, karena penasaran, akhirnya Inoo melihat foto tersebut.


“Bagaimana kau bisa mengenalinya?” ucap Inoo emmbuat Yuto kebingungan.

“Siapa? Kenal siapa? Huh?” balas Yuto polos.

Inoo segera menunjukkan foto tersebut. yuto tersenyum dan segera menjelaskan kronologi bagaimana ia bisa berfoto dengan nee-chan itu.

“Pokoknya, tadi ia terlihat sedih sekali. Hmm, seperti bagaimana ya. Sesuatu yang berharga miliknya telah hilang? Errr, bukan bukan. Lebih seperti ia merindukan seseorang yang berharga baginya. Ya, kira-kira begitu.” Jelas Yuto mengingat-ingat nee-chan yang ia temui tadi siang.

Tak perlu mendengarkan penjelasan yang lebih bertele-tele lagi, Inoo melangkahkan kaki keluar apartemen. Ia berlari sambil memegangi foto yang ia ambil dari Yuto.

Seperti cita-citanya sebagai seorang pianis internasional yang ia perjuangkan habis-habisan. Ia sadar, ia harus memperjuangkan kisah cintanya. Perasaan yang menggebu, ingin bertemu, ingin memiliki, inilah perasaan cinta yang ia rasakan untuk Yuki.

Ia sudah berlari sejauh ini. Ia sudah berjuang sampai sejauh ini. Ia tak bisa kembali. Ia tak bisa membuang atau menyerah. Bahkan ia tak bisa tidur karena terlalu merindukan Yuki. Merindukan segala yang ada di diri Yuki.

Tuhan memang satu-satunya perencana terbaik sejagad raya. Dari arah seberang, Yuki berjalan menuju apartemennya. Yuki nampak tak bersemangat sama sekali. Ia menunduk dan berjalan sangat lambat seperti kehilangan nyawanya.

Mendengar langkah orang yang berlari, Yuki berhenti dan mengamati sekelilingnya. Hatinya berdebar kembali setelah melihat orang itu. Seakan tertempeli magnet, Yuki berjalan mendekat ke arah orang itu. Semakin cepat langkahnya mendekati orang itu, lama-lama ia mulai berlari. Tak sadar air matanya turun membahasai pipinya.

Di depan pintu gedung apartemen, keduanya berhenti berlari. Nafasnya masih memburu, dan masih tak dapat berkata apa-apa.


“Mengapa, kamu berlari?” tanya Yuki mencoba memecahkan kesunyian yang mereka timbulkan sendiri.

“Entahlah, kamu juga mengapa berlari?” balas Inoo.

Ketika nafasnya sudah mulai normal, Yuki menjawab. “Karena kamu..”

Keduanya hening kembali. Inoo menatap mata Yuki dalam. Tanpa rencana, sebuah ciuman lembut yang mendalam terjadi. Tak ada yang menolak, dan tak ada yang harus berjuang sendirian. Ciuman itu adalah lambang dari perasaan frustasi mereka karena tak dapat bertemu satu sama lain dan rasa rindu yang bergejolak dalam hati mereka.


“Kamu adalah satu-satunya orang yang kurindukan. Satu-satunya yang ingin ku temui. Satu-satunya yang berhasil membuatku tersiksa karena tak bisa melihatmu. Aku ingin selalu bersamamu.” Inoo mengakui perasaannya terlebih dahulu.

“Maafkan aku.. Aku terlalu bodoh sehingga aku menolakmu. Aku sadar, aku hanya ingin kamu seorang yang menemaniku saat menghabiskan senja di kedai kopi. Dan aku sadar, bahwa aku mencintaimu.“

Inoo menatap Yuki dengan perasaan lega. Akhirnya perasaanya tersampaikan kepada Yuki, seorang yang selama ini selalu mengabaikan perasaannya. Akhirnya, ia bisa bersama Yuki. Akhirnya, ia bisa dicintai oleh gadis yang selama ini ia cintai.

Bintang-bintang di langit New York menjadi saksi bersatunya dua insan yang saling mencinta ini. Salju tak lagi turun malam itu, karena jiwa-jiwa pendosa kini digantikan oleh jiwa-hiwa yang sedang memadu kasih.


 -END-

Komentar

Postingan Populer