FanFic: Tears and Smile #2


Keesokan paginya kami pergi ke bandara. Kami berkumpul di depan pintu masuk sebelum check in. termasuk para orang tua dan mbak Tanya. Mbak Tanya yang bertanggung jawab atas keselamatan kami. Sebelelum kami ke Jepang, kami transit terlebih dahulu di Jakarta berkumpul dengan pemenang lainnya dari Medan, Surabaya, dan Bandung jelas mbak Tanya kepada para orang tua yang mukanya ikhlas-nggak ikhlas melepas kami.
“Begitu, pak bu. Jadi mereka nggak akan sendirian. Banyak temannya disana. Dan disana mereka juga akan berkunjung ke salah satu SMA dan SMP ternama di Jepang. Jadi mereka juga akan sedikit belajar disana. Seperti apa yang sudah di jelaskan kemarin” kata mbak Tanya
“Ya sudah kalau begitu. Tolong dijaga ya. Kami nggak mau terjadi apa-apa dengan anak-anak kami. Mohon bantuannya” salah satu dari orang tua kami.
“Kalau begitu, mari kita berpamitan. Silakan..” kata mbak Tanya mempersilakan kami untuk salim dan cipika-cipiki dengan orangtua masing-masing. Setelah ada sedikit drama disana ( para ibu menangis, sedangkan para ayah menenangkan istri mereka).
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pesawat kami berangkat. Aku menoleh kea rah jendela, berharap bisa melihat wajah orang yang aku sayangi untuk terakhir kalinya. Aku sedikit deg-deg-an (Jujur saja, ini penerbangan pertamaku). Aku menoleh ke arah Zahra dan Nisa. Mereka bukannya sedih,terharu atau bagaimana, mereka malah cengar-cengir membicarakan sesuatu. Wajahku berubah bingung. Langsung ku tanyakan saja kepada mereka
“Ngapain kalian cengar cengir?”
“Kita lagi buat rencana”
“Kirain cengar-cengir gara-gara wajahku yang imutt inehhh”
Muka mereka langsung berubah. Seperti kebelet eek.
“HAHAHAHAAHA” aku langsung ketawa ngakak.

Orang-orang disekeliling menoleh ke arah kami bertiga.. kami langsung pura-pura sok sibuk dan sok nggak tahu keadaan. Aku menunduk, wajahku pasti sudah merah padam. Pasti Zahra dan Nisa begitu. Kulirik mereka, mereka sedang berakting membaca majalah, yang hamper gagal total. Muka mereka seperti menahan tawa dan malu. Aku juga begitu. Kalau sedang dalam kelas, pasti kami sudah tertawa lepas. Tidak peduli di dalam ada orang atau guru. Kami sudah terbiasa gila seperti ini. Jadi mereka semua (orang yang kenal dengan kami) sudah terbiasa dengan reputasi kami ‘gila dan hiperaktif’. Setelah keadaan agak mereda, mbak Tanya yang ada di seberang bertanya
“Ada apa?”
“Nggakpapa mbak..hehe”
“Ya udah. Jangan berisik lagi ya” katanya ranah
“Hehe, iya mbak”
 Nisa langsung menoleh ke arahku. Aku pasang wajah nggak bersalah.
“Cik? Kalo ketawa entar aja ya kalo dah nyame Jakarta. Sebenernya aku juga nahan ketawa!” kata Nisa sambil membekap mulutnya sendiri.
“Kamu tu gila atau apa e?” kata Zahra
“Aku emang gila. Baru nyadar ya kalo temenan sama orang gila? Situ sendiri kok yang bikin aku jadi gila” kataku
Matanya Zahra langsung jadi garis. Nggak kelihatan matanya.
“Peace lho yaa” kataku
“Katanya lagi buat rencana? Rencana apa?” kataku mengalihkan pembicaraan
“Rencananya buanyakk banget. Ntar deh pas lagi transit aja. Pas turun. Pasti yang denger Cuma dikit kalo kita ngakak disitu”
“Oke-oke sip” kataku sambilmengacungkan kedua jempol (dan di naik turunkan lebih tepatnya) di mukaku.
Lalu kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Nisa dan Zahra sedang membaca buku panduan bahasa Jepang. Mereka membaca tentang beberapa hal, tapi aku justru membaca novel dan membayangkan isi ceritanya (Edmund sedang membunuh monster laut dengan pedang yang diberikan Caspian yang akan ditaruh di meja Aslan nantinya). Aku sedang membaca Narnia. Dan aku juga membawa beberapa novel remaja lainnya. Zahra juga membawa beberapa buku dan komik nya. Begitu juga Nisa. Belum apa-apa begini rasanya udah kangen teman-teman.
“Kangen Regina ga sih?” tanyaku
“Iya, aku juga bakalan kangen dia nih” jawab Zahra
Kebetulan Regina adalah sahabat kami berdua (aku dan Zahra). Nisa juga cukup dekat dengan Regina
“Beliin oleh-oleh apa ya buat Regina?” kat Nisa
“Belom nyampek udah mikirin oleh-oleh?! Tapi apa ya yang bagus buat Regina?” kataku
“Yeeeeee!! Ya udahlah, kita pikirin besok aja. Kita pasti ke Harajuku kan? Kita beli aja disana. Kalo nggak, kembaran aja sekalian” usul Zahra
“Iya, kayak gitu aja ya mendingan”
“Oke”
********************

Setelah kami sampai Jakarta, kami langsung mengungkit rencana apa yang mereka bicarakan tadi.
“Apa tadi rencananya?” kataku
“Hah? Rencana? Oh iya!” kata Nisa sedikit berteriak. Suara mesin pesawat masih sangat terdengar. Kamipun menjauh
“Mau tau nggak yang sebenernya?”
“Sebenernya ape?”
“Tadi kita Cuma ngasal ngomong kalo kita lagi buat rencana”
“Lah terus kalian ngapain tadi cengar-cengir gak jelas?”
“Ngeliatin bapak-bapak botak tadi. Mukanya campuran antara Sule sama Shinchan. Makanya kita cengar-cengir”
Aku langsung ketawa ngakak. Ternyata benar, nggak ada yang menghiraukan kami. Jadi aku bisa ketawa sekeras-kerasnya.
“Aku nggak bisa bayangin mukanya kayak gimana tuh” kataku tersengal-sengal
“Kita aja juga keget kenapa mukanya begitu” kata Nisa. Nisa tertawa juga. Dan Zahra akhirnya juga ikut ngakak.
“Eheheheh, orangnya dateng. Diem eh” kata Nisa
Kami bertiga langsung membekap mulut. Setelah bapak-bapak tadi itu lewat, kami langsung ketawa lagi. Kali ini lebih keras.
“Ya ampun, penyangkalnya topi sama kacamata tebel,hahahaha” kataku
“Iya. Eh udah yuk, kita udah di panggil sama mbak Tanya tuh. Kayaknya udah pada ngumpul”
“Hmm, yaudah capcus”
Kami bertiga lari kea rah mbak Tanya. Sesampainya, kami langsung diberi pertannyaan.
“Kalian habis ngapain? Kok nggak langsung masuk aja?”
“Kita habis ada acara ngakak sebentar mbak. Hehe”
“Ada-ada aja kalian ini. Yaudah, ayok  ikut. Udah pada ditungguin di Coffebean itu”
Kamipun digiring ke coffebean itu. Ternyata sudah banyak yang disitu. Atau sudah semuanya?
“Nah, ini dia juara pertamanya. Dan yang satunya temannya. Silakan perkenalkan diri” kata mbak Tanya
“Hajimemashite, namae wa Nisa des” kata Nisa
“Hajimemashite, namae wa Zahra des” kata Zahra
“Sorry, I can’t speak Japanse. Ehm, nama saya Uci. Mohon bantuannya” kataku, lalu menunduk memberi hormat.
“Kalian boleh duduk, kenalan sama yang lainnya dulu aja” kata mbak Tanya. Kami nurut manggut-manggut.
Kami duduk di tengah-tengah sofa. Kami mulai memperkanalkan diri masing-masing. Wajah mereka kentara sekali bahwa mereka penggemar Jepang. Dari anime, komik, samapai penyanyi dan boy band nya juga. Rata-rata mereka penggemar Naruto,Utada Hikaru,dan JE. Kami mulai akrab satu sama lain. Mereka semua ramah-ramah. Dan cewek yang bernama Bunga berasal dari Medan, dia juga suka HSJ (lebih tepatnya YamaChii dan Ryutaro) dia langsung akrab denganku dan Zahra. Dia dari SMA ternama di Medan. Pantas saja, pembawaannya cantik dan pintar. Kami bahkan bertukaran nomor hp satu sama lain.
Setelah waktu transit habis dan kami harus berangkat, kami berpisah lagi. Aku kembali ke gerombolanku. Zahra dan Nisa. Setelah berdoa dan ini itu ini itu, akhirnya kami pergi juga ke Jepang.
Entah pikiran apa yang melintas di otakku. Aku bertanya ke mbak Tanya.
“Mbak, katanya kita mau ke SMA ternama di jepang kan?”
“Iya, kenapa? Kamu nggak akan nyesel datang ke sana”
“Hirokoshi Gakuin bukan?”
“Iya, kok bisa tau?”
“Hah? Yang beneran nih mbak? Astagaaa, semoga bisa ketemu Ryutaro, chinen dan kawan-kawan” kataku kaget.
“Nanti katanya juga ada sambutan dari sananya. Tapi mbak Tanya juga belum tau penyambutannya kayak gimana. Tapi yang jelas, ada acara nyanyi-nyanyi nya juga dari murid sekolah diasana”
“Astaga? Penyambutannya pakai acara kayak gitu? Jadi berasa tamu penting”
“Kalian memeng tamu penting disana”
“Oh,hehe. Jadi malu”
“Yang penting kalian jaga kesehatan ya, biar bisa ikut ke sekolah itu. Sekarang kamu istirahat dulu aja. Biar nggak ngantuk sampai sana”
“Oke” kataku menurut.
Beberapa jam terbang di angkasa membuat badan pegal-pegal. Bahkan tidur juga tidak membuat lebih baik. Sama saja pegalnya. Kami sampai Jepang. Turun dari pesawat, aku merasakan sensasi udara yang berbeda. Lebih sejuk. Kami langsung berfoto di depan tulisan bandara internasional Tokyo. Kami sangat senang.
Begitu kami keluar dari bandara, bis yang bertugas menjemput kami sudah datang. Kami di bawa pergi ke tempat hotel kami menginap. Pemandangannya indah. Walaupun di tengah kota, tetapi tetap enak dipandang. Bersih.
Setelah check in dan ini itu ini itu. Kami di perbolehkan istirahat sebentar. Kami bertiga tidur sekamar. Kami tidak akan berpisah satu sama lain. Kami sudah janji seperti itu pada saat di bandara Adi Sucipto, Jogja. Kami menempati kamar berukuran medium, karena kami bertiga. Kami seperti diistimewakan oleh semua orang. rasanya sedikit aneh, seperti sangat di segani seakan-akan kami bertiga ini orangnya ketus,jahat,egois,penuh misteri,dan jarang senyum. Padahal sifat kami cenderung (ab)normal, murah senyum dan tawa, bahkan kami blak-blakkan. Tapi hal itu tak terlalu kami pikirkan.
Ketika masuk kamar, kami langsung merebahkan diri ke kasur. Kami jadi teringat keluarga di Jogja.
“Kangen kamar sendiri gak sih?” aku memulai pembicaraan
“Kangen sih kangen, tapi kita kan beru beberapa jam pergi Cik? Masa udah kangen?” kata Nisa
“Yah, maksudku bau nya, ini itu ini itu nya. Yang jelas gak ada poster disini”
“Hahaha, belajar mandiri dong”
“Ini udah mandiri banget Nis, kamu pernah nggak? Bersihin rumah sendiri, masak sendiri, bangun sendiri, bikin sarapan sendiri, kalo kedinginan gak ada yang nyelimuti. Pernah gak? Aku pernah Nis, jadi kayak gini mah, belum ada apa-apanya”
“Belum sih..hehe”
“Yang jelas, selama aku nggak kelaparan dan kedinginan, aku sih gak papa”
“Dasar..” kata Zahra tiba-tiba
“Halah, apa kamu nggak kayak gitu?”
“Kalo aku plus laptop dan modem”
“Itu mah udah beda urusan” kataku bete. Aku langsung memasang headphone dan bernyani seenaknya dan bernada tinggi.
“MAYONAKA NO KAABOOI NI NATTE”
“Santai lho Cik” kata Zahra
Aku diam saja. Padahal aku mendengarnya. Beberapa jam kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mungkin sedang browsing. Kalau aku sedang membaca kamus bahasa Jepang. Setidaknya aku tahu cara memperkenalkan diri, mengucapkan terimakasih, maaf, dan beberapa kalimat lainnya. Aku seperti orang dongo disini. Aku tidak mengerti apa-apa. Yang lainnya bisa berbahasa Jepang dan Iggris yang bagus, sedangkan aku pas-pasan. Jadi, kalau mau pergi ke manapun, aku selalu membawa Zahra atau Nisa. Mereka kamus berjalanku.
Keadaan kembali riuh. Kami tertawa bersama saat perut kami keroncongan. Aneh, atau hanya kebetulan? Yang jelas, perut kami sama-sama kosong,dan kami sangat kelaparan. Kami berhenti tertawa saat ada yang mengetuk pintu. Aku membukanya.
“Ayo kita ke bawah. Kita makan siang. Apa kalian nggak lapar?” kata mbak Tanya
“Iya mbak. Kita nyusul sebentar lagi. Kami mau beres-seres dulu”
“Oke. Jangan lama-lama ya. Udah pada nungguin yang lain soalnya.”
“Oh, iya mbak. Sebentar aja kok”
“Ya udah cepetan ya” kata mbak Tanya, lalu pergi menjauh dari pintu.
Aku menutup pintu. Dan berbalik mendekati Zahra dan Nisa.
“Kalian ngapain sih?”
“Lagi nyari info tentang tempat-tempat asik di Jepang Cik”
“Ngapain repot-repot nyari begituan? Ntarkan juga pasti ada guide nya”
“Iya juga ya?”
“Haduh (mimic wajahku jadi tambah datar) yaudah yuk turun. Perutku bener-bener kosong nih”
“Iya iya”
Setelah membereskan sedikit barang, kami langsung turun ke bawah. Perut kami sudah meronta-ronta untuk di isi makanan. Sesampainya di restoran hotel, dan menemukan gerombolan kami, kami langsung menatap ke meja makan. Aku bersyukur. Makanannya banyak dan terlihat sangat lezat sekali. Kamipun mengambil makanan sesuai porsi kami. Porsi yang sedikit nggak lazim untuk ukuran cewek kami nggak mau jaim di hadapan mereka. Kami sudah mengatakan itu sejak awal pertemuan di Jakarta.
Kami lahap memakan makanan itu. Kami nggak perlu khawatir soal ke-halal-an nya. Mbak Tanya bilang, hotel ini sudah memiliki izin dan restoran ini sudah bertandakan ‘halal’. Jadi kami tenang-tenang saja.
Setelah acara makan selesai, kami di ajak ke suatu tempat. Aku tidak tahu, makanya kami bertanya ke mbak Tanya.
“Sekarang kita mau kemana mbak?”
“Rahasia dong. Kalian boleh ganti baju yang sedikit sopan. Blus kemeja atau sebagainya. Aku beri 15 menit untuk ganti baju ya”
“15 menit? Oh, oke deh. Nanti langsung naik ke bis kan?”
“Iya”
Kami pun langsung bergegas pergi ke kamar dan mengganti baju. Aku memakai kemeja panjang bergars horizontal biru tipis, menggunakan sepatu kats hitam kesayangan dan di kuncir tinngi. Aku jadi terlihat jangkung walaupun aku sebenarnya tidak tinggi. Sedangkan Nisa dan Zahra memakai kemeja kotak-kotak (nggak kembaran). Nisa dan Zahra tetap di gerai (kalau Zahra memang rambutnya pendek, jadi apa yang mau di kuncir?). Setelah itu, kami turun dan bergegas menuju bis. Selamat. Kami tidak di tinggal.
“Kalain ini habis ngapain sih? Lama banget. Habis beol ya?” kata teman patner Bunga sinis
“Situ kali yang beol. Make nuduh segala” kataku tak kalah sinis. Patner Bunga memang sepertinya tidak suka dengan aku,Zahra, maupun Nisa. Sepertinya dia iri pada kami, karena kami yang juara. Bukan dia.
“Hush, kamu ngafur. Maaf ya Uci,Zahra,Nisa. Dia emang kayak gitu orangnya” kata Bunga buru-buru.
“Iya, nggak papa kok”kata Nisa
“Sapa yang salah, sapa yang minta maaf” kataku sambil jalan ke kursi yang kosong. Entah dia dengar atau tidak. Yang jelas aku sangat sebal padanya. Bunga bisa sabar amat ya ama tu orang? tanyaku dalam hati. Aku mengambil kursi yang jauh dari orang itu. Kubiarkan kepalaku menempel kaca. Aku sangat kesal. Aku memejamkan mataku. Menikmati udara yang ku hirup dan ku hembuskan. Mendengarkan suara-suara di luar yang bukan berasal dariku. Ku dengarkan tawa mereka, ku dengarkan suara mesin bis, ku dengarkan mbak Tanya yang sedang bertanya kepada guide. Walaupun ramai, aku merasa sendirian. Lama-lama aku semakin menjauh, tak mendengar apa-apa. Aku tertidur dalam kekesalanku.
Beberapa saat aku tak melihat apa-apa. Hitam. Semuanya hitam. Lalu, ada secercah cahaya yang membuat semua terang. Sekarang aku bisa melihat semua. Ada orang di dekatku. Kulihat wajahnya. Wajahnya bersinar cerah, rupawan, dan memiliki senyum yang manis. Aku kaget. Aku jadi gagap seketika.
“Ryu.. Ryu.. Ryutaro?”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia mendekatkan wajahnya semakin dekat. Semakin dekat dan semakin dekat. Ketika semakin dekat, ada orang yang mengguncang-guncangkan tubuhku. Aku tersadar. Seketika wajah orang rupawan itu berubah menjadi wajah orang kebingungan. Awalnya kabur, tapi kemudian wajahnya jadi jelas. Zahra. Oh tuhannnn, jadi tadi itu Cuma mimpi? Aduh Zahra, kamu bangunin aku terlalu cepat!!!!! Keluhku dalam hati. Wajahku yang tadinya sadar-enggak sadar sekarang jadi wajah gonduk. Aku bete seketika. Siapa yang nggak bete coba kalo lagi mimpi indahnya dirusak?!
“Cik, ayok udah sampek”
“Iya iya. Cepet amat”
“Kita perjalanannya sejam lho”
“Masa?”
“Kamu tidur sih”
“Cuma bentar”
“Tadi kamu ngomong apa?”
“Nggak ngomong apa-apa tu”
“Tadi kamu tu ngelindur. Tapi ngedumel nggak jelas”
“Denger apa kamu tadi?”
“Nggak jelas”
“Yaudah”
“Ngimpi apa hayoo?”
“Kita udah nyampe  Hiroshi Gakuin kan?”
“Iya. Sekolahnya elit banget lho. Liat tuh. Parkirannya aja kayak gini”
Lalu aku melihat keluar. Benar. Parkirannya luas dan bagus. Dari parkiran saja sudah kentara bahwa itu sekolah elit. Aku memalingkan wajah ke Zahra. Dia membawa tas. Ada kemungkinan dia bawa minum. Aku sangat haus.
“Bawa minum Zah?”
“Bawa. Nih” kata Zahra sambil menyodorkan botol minumnya. Alhamdulillah..kataku dalam hati
Akupun minum seperempat air di dalam botol itu.
“Makasih”
“Youre welcome cik”
“Turun yuk, yang lainnya udah pada nunggu di bawah” kata Nisa dari pintu bis.
Kami bergegas turun. Aku masih sedikit mengantuk, jadi aku berjalan malas-malasan. Kami langsung masuk ke barisan. Mbak Tanya menjelaskan apa saja yang akan di lakukan di sekolah elit ini. Dan membagi kami menjadi sendiri-sendiri. Aku di tugaskan ke kelas 2, yang akan kukunkungi nanti pada saat mereka pelajaran musik. Aku mendengus mendengar perintah itu. Aku tidak mengerti musik. Pasti akan sangat membosankan disana. Lagipula juga memakai bahasa Jepang, jadi pasti aku tidak akan mengerti apa yang sedang diterangkan. Zahra ditugaskan ke kelas 1, dia akan mengunjungi kelas itu pada saat pelajaran kimia. Wajahnya riang-riang saja. Apalagi Nisa, dia mendapat kelas 2 yang akan dikunjunginya. Ia senang karena ia berkunjung di kelas yang sedang pelajaran Voli. Karena Nisa juga pintar Voli, dia melatih adik kelas sewaktu sekolah kami akan lomba Voli antar sekolah se-Jogjakarta.
Petualangan dimulai. Sekolah itu megah, tetapi tak mengundang perhatianku. Aku masih berjalan malas-malasan menuju ruang musik yang ternyata lantai paling atas. Mataku masih sebatas garis. Belum benar-benar terbuka. Ketika mau menaiki anak tangga terakhir aku menabrak orang. sepertinya laki-laki. Karena aku malas berurusan dengan orang, aku langsung menunduk minta maaf
“Sorry” kataku. Aku langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun lagi dan tidak melihat wajah orang yang aku tabrak tadi. Aku melanjutkan perjalanan menaiki tangga itu lebih malas lagi daripada sebelumnya. Setelah melihat tulisan ‘MUSIC ROOM’ dan ada tulisan Jepang di bawahnya yang tidak aku tahu bacanya itu. Aku mengetuk pintu. Tidak ada yang membuka. Aku kesal, mataku jadi terbelalak. Aku langsung saja masuk. Pintunya berat. Butuh kekuatan besar mendorongnya. Ketika terbuka, aku hamper jatuh. Untung saja aku berpegangan pada daun pintunya. Orang-orang di dalamnya melihat ke arahku. Aku menunduk minta maaf
“Sorry, I’m late” kataku. Lalu masuk, dan mengambil kursi paling atas. Ruang musik ini seperti ruang pertunjukan. Panggungnya ada di bawah.
Aku duduk disebelah anak laki-laki tidak tahu namanya siapa. Aku bertanya namanya,dan sedikit mewawancarainya.
“Ehm, bolehkah aku tahu namamu? Aku Uci, tamu dari Indonesia.”
“Aah, Indonesia. Namaku Akachi. Bisa berbahasa Jepang?”
“Sorry, aku tidak bisa berbahasa Jepang?”
“Sure”
Guru yang berwajah galak itu melihat ke arahku. Aku jadi takut. Tatapannya sama dengan salah seorang guru killer di sekolahku. Aku menatap laki-laki yang rambutnya di cat pirang. Cocok untuknya. Model-modelnya mirip seprti di komik-komik. Tampan. Beberapa siswa wanita lainnya menatapku kesal. Mungkin cowok ini primadonanya kelas ini.
“Apa pendapatmu tentang pelajaran ini?”
“Pelajaran musik?”
“Yeah”
“Ehm, kelas ini sangat membantuku untuk belajar musik. Aku suka pelajaran ini”
“Bagaimana dengan gurunya?”
“Dia menyeramkan bagi kami. Kadang baik, kadang jadi galak. Tapi ia lebih sering galak.”
“Oh, aku bisa lihat itu”
“Apa kalian pernah terlambat masuk kelas ini?”
“Tidak pernah. Tentu saja.:
“Bagaimana dengan gurunya?”
“Dia selalu di ruangan ini. Dia jarang sekali beranjak dari ruang musik ini. Jadi dia tidak pernah terlambat. Dia salah satu guru teladan di sekolak ini”
Aku terlonjak saat di panggil guru itu untuk maju.
“Aku? Apakah bapak nggak salah? Aku bukan murid anda. Aku tamu disini”
“Aku tahu itu, tapi sekarang kau ada di dalam kelasku. Jadi kau hanya tinggal mengikuti apa yang ku katakan”
“Serah lo deh”
“Maaf, apa yang kau katakan?”
“Tidak ada”
Aku turun ke bawah. Aku berdiri dihadapannya.
“Bisakah kau memainkan sebuah lagu untuk kami? Hanya satu lagu. Tolong mainkanlah dengan itu”
Dia menunjuk piano besar di sampingnya. Aku menelan ludah. OH TIDAKKK! AKU KAN NGGAK BISA MAEN PIANO BEGITUAN! MENTOK JUGA KEYBOARD. ADUH GIMANA NIH?! Kataku dalam hati. Aku menelan ludah sekali lagi.
“Why? Can’t playing piano?” katanya mengejek
“Sure. With pleasure!!!!” kataku jengkel. Aku tigak mau direndahkan begini.
Aku duduk. Melihat tuts-tuts yang berjejeran rapi. Aku melihat sekeliling. Wajah guru itu menunggu menyepelekan. Aku mendengus.
Ku lihat tuts-tuts itu lagi. Menarik nafas dalam-dalam dan mulai merasakan tuts-tuts itu bersentuhan dengan jari-jariku.
Aku memberanikan diri mengeluarkan suaraku.

You’ll never enjoy your life
Living inside the box
You’re so afraid of taking chances
How you gonna reach the top?

Rules and regulations
 force you to play it safe
Get rid of all the hesitation
it’s time for you to seize the day

Instead of just sitting around
And looking down on tomorrow
You gotta let your feet off the ground, the time is now

I’m waiting waiting
Just waiting
I’m waiting
Waiting outside the lines
Waiting outside the lines
Waiting outside the lines

Try to have no regrets even if it’s just tonight
How you gonna walk ahead
If you keep living behind

Stuck in my same position
You deserve so much more
There’s a whole world around us
Just waiting to be explored


(langsung ku loncati ke bagian ini)

The world will force you to smile
I’m here to help you notice the rainbow
Cause I know
What’s in you is out there

I’m waiting waiting
Just waiting
I’m waiting
I’m waiting
Just waiting

Waiting outside the lines
Waiting outside the lines
Waiting outside the lines

You’ll never enjoy your life
Living inside the box
You’re so afraid of taking chances
How you gonna reach the top?


Begitu lagu ini ku selesaikan. Lagu dari Greyson Chance yang berjudul Waiting Outside The Lines ini adalah lagu yang cocok untuk guru misik di sekolah ini. Karena aku tahu, hal yang ada dalam dirinya sebenarnya bukan disini. Ketika melihatku memainkan lagu ini, dan mendengar liriknya. Wajahnya berubah. Seperi mengingat masa lalunya. Aku tidak tahu apa itu. Yang jelas lagu ini cocok untuknya.
Untung aja aku belum lupa kunci ama liriknya. Sabtu kemarenkan habis ambil nilai nyanyi sama main alat musik. Fyuhh..kataku dalam hati.
Aku tak beranjak dari kursi. Aku menunggu komentarnya. Guru itu kembali sadar saat aku memperhatikan raut wajahnya. Dia mengubah ekspresinya lagi menjadi seperti awal tadi. Ia membuang muka terhadapku. Iasok sibuk denganmemberi pertanyaan kepada muridnya tentang bagaimana penampilanku tadi. Aku jadi kesal. Aku langsung berdiri dan menuju kursi para siswa. Aku sebal. Mungkin tampangku menjadi menakutkan, datar dan seperti tak bernyawa.
Kubanting tubuhku ke kursi. Mendengus, lalu memutar bola mata.
“Hey, itu tadi keren. Kau membuatnya jadi terkejut” kata Akachi.
“Hh, Terimakasih”
“Jangan kesal padanya. Dia hanya ingin menjadikan kita sebagai penyanyi dan musisi yang berkualitas. Dia guru yang baik”
“Aku tahu. Aku tahu kalau dia baik, hanya saja. Pasti ada yang ia sembunyikan selama ini.”
“Kami kira juga begitu”
“Apakah keluarganya baik-baik saja?”
“Mungkin. Aku dengar, keluarganya tidak di Tokyo. Mungkin di Korea. Istrinya berasal di Korea, dan mungkin anak istrinya tetap memilih untuk tinggal di Korea ketimbang disini.”
“Oh, pantas”
“Hey, kau tamu. Bisa minta tolong agar tak mewawancarai muridku? Kau mengganggunya. Lebih baik, kau mewawancarai muridku yang ada dipojok sana. Dia tidak mengikuti pelajaranku” kata guru itu sambil menunjuk kea rah pojok kanan sana. Aku malas melihat kearah yang ia tunjuk,dan malas beranjak dari tempat ini.
“Tidak, terimakasih. Dia saja sudah cukup” kataku sambil menunjuk Akachi dengan jempol.
“Baiklah, terserah kau saja” kata guru itu.
“Kau hebat! Tidak biasanya dia bisa dikalahkan oleh murid-murid. Bahkan kepala sekolah. Berita yang ku dengar, dia di calonkan sebagai kepala sekolah”
“Pilihan yang salah. Jika dia hidup tanpa keluarganya, dia akan tetap seperti ini. Dia menutupi hati yang paling dalamnya. Sangat menyedihkan”
“Mungkin”
“Terimakasih sudah  boleh mewawancaraimu. Arigatiou”
“Sama-sama”
Aku berpamitan pada Akachi. Lalu, aku turun tak lupa membawa barang bawaanku. Aku menghadap ke semua anak yang ada di kelas musik ini.
“Terimakasih atas kerjasamanya teman-teman. Saya pamit. Tugas saya sudah selesai. Terimakasih tatas bantuannya. Arigatou” kataku lalu menunduk memberi hormat. Lalu aku menghadap guru musik itu.
“Terimakasih atas kerjasamanya. Anda sangat membantu. Arigatou” kataku sambil memberi hormat. Aku langsung pergi dari tempat itu, tanpa menoleh. Aku rasa sudah cukup di kelas itu
********************
Sedangkan Zahra. Ia berada di kelas yang sekarang pelajaran kimia. Kebetulan sekarang waktunya praktek di lab. Zahra berbeda denganku, ia justru mengambil meja paling depan. Wajahnya ceria seperti biasa.
Tetapi saat pelajaran di mulai, mimic Zahra berubah jadi bingung. Ia tidak mengerti apapun tentang kimia tingkat SMA. Tentu saja berbeda dengan kimia tingkat SMP. Makanya ia hanya celingak-celinguk nggak jelas di ruang itu. Ada cairan yang berwarna merah, hitam, bening, ungu dan beberapa lainnya. Sewaktu Zahra mulai bosan, ia menopang dagu. Dan matanya yang sipitpun berubah seperti garis, guru kimia yang cantik itu memanggilnya.
“Permisi, bolehkah kau menunjukan beberapa yang kau pelajari di Indonesia? Pasti sama dengan yang saya di ajarkan di sini”
“Tapi saya, saya masih..”
Belum sempat menelesaikan kata-katanya, guru itu berbicara lagi.
“Tidak usah ragu-ragu. Pasti kau bisa”
“Tapi..”
“Silakan, maju ke sini”
Zahrapun maju ke samping guru itu.
Akhirnya Zahra menyerah. Ia hanya memakai ilmu kira-kira saja. Ia tidak tahu sama sekali nama dan fungsi zat cair yang ia tuangkan dalam tabung.
Zahra mencoba memasukan zat cair yang berwarna merah ke zat cair berwarna putih. Ia takut kalau ia salah. Bisa-bisa tabung ini bisa meledak dan menghancurkan kelas ini. Tapi Zahra terus positif thinking.
Ia memasukan beberapa warna lagi ke tabung itu. Hasilnya tidak apa-apa, ia lega. Akan tetapi, sesudah memasukan zat cair berwarna hitam ke zat cair yang sekarang bewarna kunig itu meledak.
Awalnya hanya di dasar tabung ada gelembung-gelembung kecil. Mata Zahra mengikuti arah gelembung itu dari atas sampai bawah. Ia pun mencermati tabung percobaan itu dari atas lubangnya. Dan booommm, wajah Zahra berubah jadi hitam. Kacamatanya berubah jadi hitam pekat. Ia mendongak ke atas. Mungkin wajahnya menunjukan ekspresi yang datar atau bahkan tanpa ekspresi, tapi tentu saja tak terlihat. Zahra menoleh kea rah guru itu
“Apa kamu tidak apa-apa?”
“Tidak. Tadi saya hanya ingin bilang. Bahwa saya masih sekolah menengah pertama. Makanya saya menolak” kata Zahra datar
“Oh, maafkan saya. Biar saya Bantu membersihkan wajah anda”
“Tidak perlu. Saya bisa sendiri terimakasih”
“Toiletnya ada diluar. Belok ke kiri saja sudah sampai” kata guru itu
“Sankyu” kata Zahra
Ia keluardari ruang lab. Dengan wajah ditutupi. Ia sudah tahu arah toiletnya. Ditengah koridor, di persimpangan Zahra bertabrakan denganku.
Aku langsung mengenalinya. Dari bajunya.
“Ini Zahra kan?”
“Ucik!!!!!!!! Ayo ikut aku” kata Zahra. Ia menggeretku ke toilet. Zahra terus menutupi wajahnya.
 Sesampainya di toilet, aku langsung bertanya.
“Zah, kamu tu kenapa?”
“Kamu jangan ketawa ya!”
“Nggak janji”
“Liat deh”
Zahra membalikan tubuhnya, sekarang ia menghadapku. Sedetik melihat wajahnya, aku langsung tertawa.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAPPPP”
Zahra membekap mulutku.
“Kan udah aku bilang jangan ketawa!!”
Zahra melepaskan tangannya dari mulutku
“Iya iya, hahahmppp” aku nggak tahan pingin ketawa. Karena merasa tidak ena, aku membekap mulutku sendiri. Setelah tawaku hilang, aku bertanya.
“Kamu tu ngapa e? sini aku bantuin” kataku sambil melepaskan kacamata Zahra.
Aku tertawa lagi. Kali ini lebih jahat. Aku tertawa lebih keras.
Wajah Zahra aneh sekali. Yang bersih hany bagian mata yang tertutup kacamatanya. Zahra kebingungan.
“Zah, liat ke kaca deh” kataku
Zahra membalikkan tubuh. Zahra sangat shock melihat wajahnya sendiri.
“Aduh Ucik! Gimana ini?”
“Di cucu dulu ngapa? Di basuh dulu”
Zahra membasuh mukanya. Ia mendongak ke atas. Melihat ke kaca. Kaget.
“Ucik, nggak bisa ilang ini. Gimana nih?”
JUMPING TO MY DREAM.. hp ku bunyi. Telepon dari Nisa. Aku mengangkatnya
“Halo? Apa Nis?”
”Udah pada selesai ya?..hah? sekarang suruh kumpul di aula? Nggak bisa deh kayaknya. Aku ada urusan bentar sama Zahra”
“Nanti deh Nis aku ceriatain kalo udah nyampe hotel lagi.. kalo udah selesai acara penyambutannya, nanti aku di telepon lagi ya.. oke, makasih”
Ku tekan tombol end. Aku menatap Zahra.
“Ayo Zah, kita nggak punya banyak waktu”
“Ngilanginnya pake apa?”
“Pake sabun eh. Coba dulu”
Setelah di coba, noda hitam yang menyelimuti wajah Zahra sedikit berkurang. Tetapi tidak terlalu kentara. Akhirnya Zahra mencuci mukannya belasan kali. Dengan gaya lembut sampai kasar. Zahra frustasi.
“Gimana nih Cik?” kata Zahra putus asa.
“Ayo, coba lagi Zah. Dikit lagi ilang kok”
Aku mengambil tissue dari tas Zahra. Ku pejet sabun sehingga memuntahkan banyak cairan sabun di tissue. Ku uleskan ke wajah Zahra pelan-pelan. Lama-lama berkurangg. Kini, wajah Zahra benar-benar bersih. Menghabiskan satu botol sabun, yang tadinya full dan menghabiskan 30 menit sendiri. Zahra bernafas lega. Aku juga.
Kami keluar dari toilet. Kami terkejut karena banyak yang mengantri untuk masuk. Bukan kerena toiletnya hanya satu, malah toilet ini kelewat besar. Pintu toilet ini tadi kami kunci. Tapi kenapa tidak ada yang mengetuk-ngetuk pintu nya? Aneh. Kataku dalam hati. Wajahku pasti sangat aneh sekarang. Kami langsung menunduk minta maaf dan cepat-cepat pergi dari situ. Terdengar teriakan kesal. ‘Apa yang telah mereka lakukan? Tissue dan sabunnya sampai habis begini’ mungkin begitu. Karena gadis tadi menggunakan bahasa Jepang.
Mendengar teriakan itu, aku dan Zahra saling tukar pandang dan mempercepat jalan kani.
Kami langsung menuju bis. Karena aula sudah kosong. Ternyata yang lain sudah menunggu kami di dalam. Beruntungnya kami. Tak ada yang protes seperti tadi.
Kami melanjutkan perjalanan ke stasiun kereta.
“Kamu tadi ada urusan apa e?” kata Nisa.
“Nanti aja ya di ceritainnya pas udah di kamar. Biar kamu bisa ngakak sepuasnya” kata Zahra.
“Hmm, yaudah”
Sesampainya di stasiun. Aku terperangah. Stasiun disini sangat berbeda dengan stasiun di Indonesia. Sangat bersih, rapi dan teratur. Tekneloginya juga sudah sangat maju. Kami akan ke Kyoto. Menggunakan kereta listrik. Kami di bagi uang untuk keperluan kami selama dua minggu kedepan. Semuanya sudah di tanggung oleh lembaga bimbingan belajar ini. Dari uang saku, tiket pulang-pergi, tempat tinggal, dan tiket untuk beberapa tempat wisata juga sudah di tangani bimbingan belajar ini. Kami sangat beruntung. Karena kami tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk wisata ke Jepang ini.
Kami masuk ke kereta. Keretanya sangat bagus. Kapan ya kereta di Indonesia bisa bagus begini? Tanyaku dalam hati.
Kamipun duduk menempati kursi masing-masing. Aku mendengarkan lagu lewat mp4ku. Handphone ku matikan dengan tujuan supaya nggak low bat nanti ketika jalan-jalan.
Ketika kereta kami transit sebentar. Mungkin hanya sekitar 15 menit. Aku tiba-tiba kebeket ingin ke toilet. Jadi ku ajak Zahra saja. Zahra pun mau mengantarku ke toilet. Kami juga izin dulu ke mbek Tanya supaya nanti tidak usah mencari kami. Tinggal telepon ke hp Zahra saja. Kami pun turun dari kereta.
Kami sempat kebingungan mencari toilet. Tapi akhirnya ketemu juga. Kami bertanya pada security disana. Kami barjaga gentian. Aku yang masuk toilet lebih dahulu, Zahra memegang semua barang bawaanku. Lalu setelah aku keluar, Zahra ganti masuk ke toilet dan sekarang aku yang memegangi barang bawaannya dia. Berat. Zahra kemana-mana selalu membawa laptopnya itu.

Komentar

Postingan Populer