Atas Nama Masa Depan
Judul : Atas Nama Masa Depan
Author : Uci Pradipta
Genre : School, Drama, Fantacy
Type : Short Story.
Ratting : PG
Disclaimer : Semua char adalah hasil dari imajinasi saya, dan jika ada kesamaan karakter dan nama hanyalah ketidaksengajaan belaka. Hasil nulis beberapa jam aja dan harap maklum kalo banyak typo :3 hehe. Masih membutuhkan kritik dan saran karena kesalahan masih ada disana sini. Sekian. Please enjoy the story :)
Atas
Nama Masa Depan
Kami hidup bukan untuk menjadi
boneka. Asrama? Sekolah? Peraturan? Memenangkan perlombaan supaya menjadi
terkenal? Oh ya tuhan, apa hidupku ini terlalu remeh sehingga aku tidak bisa
menikmati hidupku dengan tenang?
Suatu pagi, dengan mengenakan
seragam serba panjang dan tebal kami para pejuang masa depan telah dijadikan
sebagai budak sekolah, politik, bahkan orang tua kami sendiri. Atas nama masa
depan mereka merenggut kebahagiaan kami, waktu kami untuk bermain bahkan untuk
hobi kami sekali pun juga mereka rampas.
Mengapa peraturan begitu kejam?
Megapa seorang anak yang berjiwa seni diharuskan menjadi seorang insinyur?
Mengapa seorang berjiwa balerina diharuskan dokter? Mengapa seorang rapper
diharuskan menjadi seorang penyanyi opera? Ini jiwa milik kami sendiri, tapi
mengapa kami di kendalikan?
Setiap pagi kami diberi sarapan
yang katanya bergizi dan dapat meningkatkan daya ingat serta kecerdasan kami. Well, terimakasih untuk itu.
“Kalian harus meminum pil itu
supaya kondisi tubuh kalian tetap sehat.” Ujar seorang guru yang selalu
terobsesi dengan kemenangan di lomba-lomba bertaraf nasional bahkan
internasional.
“Ck. Mau sampai kapan kami akan kau
beri asupan ‘bergizi’ ini, Pak?” kata Bobby sang ketua kelas.
Kami tahu zat apa yang ada di dalam
pil itu. Zat penambah tenaga yang tidak diperbolehkan. Kami para siswa kelas
2-A saling menatap satu sama lain. Sebagian dari kami rasanya ingin melumpuhkan
guru tersebut supaya tak semena-mena dengan para siswa, dan sebagian lagi hanya
pasrah—takut dengan guru itu. Jika kami tidak menurut perintahnya, kami akan di
siksa dengan berbagai cara. Paling lembut, dengan cara menyetrum tubuh kami
dengan tegangan DC.
Kami siswa SMA Brilian kelas 2-A,
kelas saintek terbaik di seluruh penjuru negeri. Kelas terbaik dengan guru yang
baik, peraturan yang baik, dan perlindungan yang baik. Baik untuk nama mereka
tentunya, bukan untuk kami para siswa.
Aku sadar, bahwa pendidikan di
negeri ini sudah sakit. Aku berencana untuk melakukan pemberontakan. Apapun
hasilnya, setidaknya aku pernah berjuang untuk membongkar markas mengerikan
bernama “sekolah” ke publik.
Pelajaran pertama fisika. Otak kami
dipenuhi dengan rumus-rumus. Selanjutnya, tanpa ada istirahat kami langsung
melanjutkan pelajaran kedua yaitu kimia. Jam belajar sekolah kami mulai pukul
delapan pagi sampai lima sore, sebelum jam makan siang kami belajar mata
pelajaran biasa dan setelah jam makan siang kami menjadi kelinci percobaan
diberbagai jurusan yang telah dipilihkan orang-orang tertentu, misalnya menjadi
ilmuan di laboraturium ataupun menjadi insinyur. Diluar memang nampak
normal-normal saja, namun dibaliknya terdapat berbagai macam tekanan yang
diberikan kepada kami.
Sepulang sekolah ketika aku sedang
mencuci muka di toilet, tak sengaja aku mendengar ada seseorang yang sedang
muntah. Ku pikir itu hanya masuk angin saja, tapi ternyata tidak. Aku segera
menghampiri sumber suara.
“Miley!” teriakku begitu mengetahui
orang itu adalah Miley. Wajahnya begitu pucat, wajahnya begitu lemah, pipi yang
dulu tembam itu kini menjadi tirus.
“Apakah kau baik-baik saja?” ujarku
sambil meremas lengannya.
“Sarah.. Tempat ini, sudah tak
sehat. Lebih baik kau melarikan diri.” Balasnya dengan nada bergetar, air
matanya mulai mengalir.
“Tenang, Milley! Semuanya akan
baik-baik saja. Percayalah.” Ujarku sambil memeluknya, menenangkannya.
Sesampainya di asrama, Miley
menceritakan semuanya kepadaku. Luar biasa, tekanan yang diberikan oleh sekolah
kepadanya sangatlah membuatku muak. Miley sampai-sampai tidak tidur beberapa
hari untuk menghafalkan rumus-rumus yang belum tentu bermanfaat dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Miley tidak tidur dan terus menerus diberi pil-pil penambah
tenaga.
Hari selanjutnya kelas kami geger kembali. Thomas, salah satu siswa dengan otak cemerlang itu tiba-tiba berteriak
di tengah pelajaran. Ia seperti orang kesurupan, oh bukan, ia stress. Kemudian
para petugas keamanan segera menyeretnya ke luar kelas. Aku, Miley dan Bobby saling menatap.
Hari berikutnya terjadi hal yang
sama, namun bukan hanya kelasku saja. Kelas B dan C juga terjadi hal yang sama.
Semakin hari semakin banyak siswa yang sakit jiwa. Hal ini semakin mencemaskan
kami.
“Bobby, nampaknya kita perlu
melakukan pergerakan secepatnya sebelum koraban yang berjatuhan semakin
banyak.” Ujarku setelah melihat penghuni kelas menjadi semakin berkurang.
“Pastikan dirimu tak akan jatuh
juga.” Balas Bobby kemudian keluar kelas.
Tepat pukul tujuh malam ketika makan malam tiba, salah seorang siswi berteriak nyaring. Semua
orang yang berada di ruang makan terkejut, kemudian berlari ke sumber suara.
Tak disangka, salah seorang siswa
telah meregang nyawa. Mulutnya dipenuhi busa, ia overdosis. Bunuh diri.
“Harry! Tidak mungkin itu kau!”
teriak Bobby terdengar semakin mendekat. Nafas Bobby tercekat setelah melihat
bagaimana teman satu kamarnya itu tewas.
Setelah memejamkan mata Harry,
Bobby menyuruh kami semua lebih berhati-hati. Amarahnya tak dapat dibendung
lagi.
“Sarah, segera kumpulkan
orang-orang yang ingin bergabung. Kita berkumpul jam sepuluh malam nanti di
tempat rahasia.” Perintah Bobby kemudian meninggalkan kerumunan.
*****
Tepat pukul sepuluh malam di tempat
yang dijanjikan, kami para pemberontak berkumpul di ruang yang sebenarnya
merupakan sebuah gudang yang sudah purna tugas. Total ada lima orang. Setelah
mengumumkannya setelah makan malam mengenai pemberontakan ini, para siswa lain
justru menunduk sambil gigit bibir. Mereka tak bernyali untuk mengambil
tindakan ini. Hanya beberapa orang yang benar-benar muak dan berani melawan yang
mau bergabung dengan kami.
Bobby mengetuk-ngetukkan
telunjuknya di meja. Berpikir keras.
“Sarah, jujur saja. Lima orang, apa
bisa?” akhirnya ia mulai bersuara.
“Kau ingin memberontak yang seperti
apa? Membakar sekolah, atau narasi di depan gedung dengan toa? Aku yakin, itu
tidak akan berhasil.” Balasku
menjelaskan.
“Kita perlu media massa. Peran
media massa sangat berdampak di kehidupan masyarakat negeri ini, kan?” ujar
Abdul dengan tampang datarnya.
“Ah, iya benar juga! Kita bisa
mengungkapkan apa yang telah terjadi di sekolah ini di depan media massa!”
sahut Wildan semangat.
“Tapi kapan kita bisa mengungkapkan
semua itu? Kita tidak bisa meninggalkan asrama untuk pergi ke stasiun televisi
maupun ke majalah.” Kali ini Miley yang menyahut.
Semuanya kembali menunduk setelah
menemukan ide brilian. Aku berfikir lagi, benar apa yang dikatakan Miley.
Sialnya kami semua merupakan peserta lomba nasional tahunan. Aku bersama Abdul
ada di bidang robotik, Wildan di bidang matematika, sedangkan Miley berada di
bidang fisika, dan Bobby di bidang desain web. Bagaimana kami bisa ke stasiun
televisi jika kami terus-terusan dikurung disini?
“Bagaimana kita bisa ke stasiun
telivisi? Tunggu.. kita bisa membuat mereka datang!” ujarku setelah berfikir
keras.
“Bagaimana bisa?” tanya Bobby yang
mulai tertarik.
“Bukankah kita yang ada di ruangan
ini merupakan utusan sekolah untuk ‘mengharumkan nama sekolah’ dan meraih masa
depan yang baik, iya kan? Masing-masing dari kita harus menjadi juara pertama
untuk lomba yang diikuti. Aku masih ingat benar, sewaktu aku juara tahun lalu
aku dikerubungi banyak wartawan yang meliput.
Dan dipastikan tahun ini akan
semakin banyak wartawan yang meliput. Aku yakin itu. Ah, atau tidak, ketika
sebuah sekolah memborong banyak medali emas, sekolah tersebut akan diberikan
kesempatan untuk berbicara di depan banyak orang yang mengikuti lomba tersebut.
Dan tentu saja akan diliput dan disiarkan secara nasional! Kita bisa membuat speech disana. Bagaimana?” jelasku
panjang lebar.
Mereka saling menatap satu sama
lain.
“Juara satu?” ujar Abdul
malas-malasan.
“Siapa takut!” tambahnya disertai
dengan senyuman nakalnya. Dan akhirnya kami sepakat untuk berjuang mendapatkan
tempat pertama dalam perlombaan nasional itu. Entah mengapa, rasanya lebih
semangat dan bertenaga, tanpa pil berkhasiat dari para guru.
Keesokan harinya, kami para
pemberontak dipanggil ke ruang rapat. Perasaanku kalut, pikiranku tak
terkendali, apakah kami tertangkap basah bahkan sebelum kami melakukan
tindakan?
Kami duduk di depan kepala sekolah.
Aura mengerikan muncul disekitarnya. Ini buruk. Kemudian ia tersenyum kepada
kami, entah kenapa senyuman itu justru terlihat mengerikan. Aku menunduk,
berdoa semoga ia tak akan menghukum kami.
“Apakah kalian sudah siap untuk
lomba minggu depan?” ujarnya sambil mengangkat sebelah alisnya.
Aku bernafas lega, ah bukan aku
saja, tapi para pemberontak bernafas lega.
“Tentu saja. Kami akan menjadi
juara pertama.” Jawab Bobby dengan percaya diri.
“Kalian cukup percaya diri rupanya.
Baguslah kalau begitu. Tapi jika kalian kalah, kalian akan menanggung
akibatnya. Kalian mengerti?” balas kepala sekolah dengan aura yang lebih
mengerikan.
Kami mengangguk dengan kompak.
Kemudian kami dibawa ke ruang pelatihan. Seperti biasa, kami selalu dipaksa
untuk menelan pil itu.
*****
Pelatihan telah berakhir, hari ini
kami mengikuti lomba itu. Semua peserta lomba mengikuti apel di aula universtas
yang menyediakan tempat untuk perlombaan nasional ini. Kepala dinas pendidikan
melakukan pembukaan dengan teks pidato yang manis.
“Hah, lihat saja kata-kata manis
itu masih bisa kau ucapkan kembali atau tidak, Pak!” gumamku penuh semangat.
Setelah pembukaan, kini lomba pun
dimulai. Seharian kami bertarung demi memenangkan lomba ini. Demi mendapatkan
kesempatan berbicara didepan umum. Beruntung, kami semua mendapatkan gelar
juara pertama.
Pada acara penutupan, kami
dipersilakan untuk berbicara di panggung. Aku sebagai narator, dan Bobby
sebagai operator penayangan slide show yang telah ia buat.
“Terimakasih kepada bapak kepala
dinas pendidikan, bapak kepala sekolah, guru-guru kami di sekolah yang saya
hormati dan juga teman-teman seperjuangan yang saya cintai. Saya dan
teman-teman saya dari SMA Brilian merasa bersyukur untuk mendapat gelar juara. Dan
kami berterima kasih kepada guru-guru yang membimbing kami selama ini. Pada
kesempatan ini saya akan berbicara dengan tema Atas Nama Masa Depan.
Atas nama masa depan, sebuah
kalimat yang begitu menyayat. Kami berjuang dengan banyak tekanan, hidup kami
di hancurkan dengan sebuah kalimat: atas nama masa depan. Mengapa saya
berbicara demikian?
Berikut datanya, di sekolah kami
SMA Brilian, terdapat sebuah sistem pendidikan yang sakit. Pil ekstasi
diberikan kepada para siswa agar tak mudah lelah. Jadwal yang begitu padat
sehingga kami tak dapat beristirahat dengan cukup. Bahkan jika kami melakukan
kesalahan, kami akan disetrum oleh guru kami..”
“Sarah! Turun kau dari panggung!”
ujar kepala sekolah mengacung-acungkan telunjuknya padaku.
Aku mengangguk memberi isyarat pada
Bobby untuk segera menampilkan slide show.
“Belum cukup hanya dengan itu, saya
dan tim saya menemukan berbagai data yang mencengangkan. Bukan hanya di sekolah
kami, namun di SMA Bela Bangsa, SMA Pintar dan yang lainnya juga terbukti
melanggar peraturan.”
Keadaan mulai ricuh. Suara kamera
yang memotret juga semakin riuh.
“Berikut data yang kami miliki.”
Ujarku lalu memosisikan tubuh supaya layar proyektor dapat dilihat dari segala
arah. Dalam data tersebut, diputar sebuah video perbincangan antara bapak dinas
pendidikan dengan beberapa kepala sekolah yang telah kusebutkan. Di video
tersebut terjadi kesepakatan untuk menggunakan obat-obatan terlarang dan juga
kekerasan terhadap siswa. Terlebih lagi diluar dugaan, pembicaraan tersebut
juga mengarah kepada penggelembungan dana pendidiakan, ya, korupsi. Berikutnya
terdapat berbagai foto ketika seorang guru menyetrum muridnya, meminumkan
sesuatu dengan paksa, serta berbagai perilaku yang melanggar aturan.
“Ini kah yang disebut dengan
mengajar dengan baik? Inikah yang diingkan setiap murid? Tidak! Kalian telah
merampas segalanya dari kami. ‘Jika kalian tidak mengikuti perintah kami, masa
depanmu akan hancur.’ Atau ‘Belajarlah dengan tekun supaya masa depanmu cerah’
tapi dengan berbagai cara kotor seperti tadi? Apakah kalian—orang
dewasa—mendidik kami dengan cara kotor seperti itu? Kalian bangga dengan itu?
Bukan hanya fisik yang sakit, namun batin kami juga. Lihatlah sudah berapa
banyak murid yang stress? Berapa banyak murid yang sakit akbat kalian terlalu
memaksakan sistem pendidiakan yang bobrok ini? Sudah berapa murid yang tewas akibat
tertekan atas sistem yang kalian berikan? Beraba banyak mulut yang tetap diam
agar selamat dari kejahatan kalian? Kami bukan mesin, kami juga bukan boneka,
apalagi kelinci percobaan.
Atas nama masa depan kalian
merenggut kebahagiaan kami. Melarang apa yang kami suka, merenggut apa yang
kami cintai, bahkan memusnahkan mimpi kami. Bagaimana kami tumbuh besar dengan
sistem seperti ini? Jika masa depan yang cerah seperti yang kalian ucapkan
kepada kami adalah menjadi seperti kalian, kami tidak mau. Kami bukan manusia
bejat seperti kalian. Kami, hanyalah seorang anak yang ingin menuntut ilmu
dengan cara kami masing-masing. Kami ingin bahagia dalam menuntut ilmu, bukan
tertekan ataupun tertindas. Berapa banyak anak jenius yang harus gugur lagi
karena sistem pendidikan busuk seperti ini?”
Kami mendapat banyak standing applause, bahkan sorak semangat
dan kemenangan dari semua murid yang mengikuti lomba memenuhi aula.
“Karena kami berhak menentukan masa
depan kami sendiri.” Kalimat terakhirku sebelum pintu aula dibuka dengan kasar.
Sebuah tim polisi masuk. Kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah yang
terlibat tiba-tiba saja mencari jalan keluar dari aula.
“Kalian ditangkap!” ujar seorang
polisi lalu menyergap tersangka dengan sekali gerakan.
Aku dan juga tim pemberontak
bernafas lega.
“Syukurlah, semuanya berjalan
lancar.” Ucap Miley kemudian memeluk kami semua dalam satu dekapan. Lalu
seorang polisi yang pangkatnya hampir memenuhi seragamnya itu menghampiri kami.
“Nak, terimakasih telah berpidato.
Para tersangka akan segera dipurnatugaskan, masalah mereka sedang diproses di
pengadilan. Semoga masa depan kalian cemerlang, nak!” ujar polisi itu kemudian
memeluk kami satu persatu.
Aku, Miley, Abdul, Bobby dan Wildan
berpelukan kembali. Rasanya begitu lega dan senang.
“Semoga perjuangan kita tidak
sia-sia. Semoga dunia pendidikan di negara kita ini menjadi lebih baik, dan
menghasilkan generasi yang keren seperti kita!” ujar Bobby yang membuat kami
kompak tertawa.
Ya,
semoga. Semoga dunia pendidikan kita menjadi lebih baik lagi dan lagi.
-----------------
Source image: http://41.media.tumblr.com/98861f7d9b5dfc66efffca98a37c7b37/tumblr_mmiv4xyNn81s6n7sfo3_1280.jpg
Komentar
Posting Komentar