One Shot
ONE SHOT
Mungkin
keramaian kota merupakan pemadangan baru yang menyenangkan bagi Mark. Bagaimana
tidak, selama ini ia tidak diperbolehkan ibunya untuk pergi ke kota. Hari ini
setelah mengunjungi makan sang ayah, ibunya mengajak pergi ke kota untuk berbelanja
beberapa potong pakaian baru.
Setelah
menangis dan memproduksi ingus di makam ayahnya tadi pagi, kini ia tersenyum
sembari membawa tas berisi baju baru.
“Terimakasih
bu. Aku suka baju barunya.” Ucap Mark kemudian tersenyum lebar memperlihatkan giginya
yang ompong. Mark masih delapan tahun, jadi wajar jika giginya ompong. Langkah
sang ibu terhenti, kemudian berlutut menyamakan tinggi anaknya.
“Syukurlah
kalau anakku satu-satunya ini suka. Nak, janji ya untuk hidup bahagia? Jangan
jadi anak nakal dan dapat membuat ibu bangga. Janji?” ujar sang ibu lalu
melingkarkan kelingkingnya ke kelingking anaknya. Mereka membuat sebuah janji.
Mark
mengangguk dengan mantap, “Oh iya, jangan jadi anak yang cengeng ya? Anak
laki-laki itu harus kuat, tegas dan punya pendirian. Mark adalah jagoannya
ibu.” Tambah sang ibu lalu mencubit pipi anaknya yang tembam. Kemudian kembali
melangkahkan kaki menuju kerumunan orang.
Mark
terdesak beberapa orang, tangannya terlepas dari genggaman sang ibu. Nafas Mark
mulai memburu, ia tak dapat menemukan dimana ibunya. Yang ia lihat hanyalah
orang dewasa yang tak dikenal. Ia mulai menangis, orang-orang disekitarnya
justru menjauh dan memberikan ruang.
“Ibu..
ibu.. ibu dimana? Ibuu....” teriak Mark sambil menagis dan lagi-lagi memproduksi
ingus yang berlebihan.
Satu
sentuhan di bahu Mark membuat ia berharap bahwa orang yang menyentuh bahunya
adalah sang ibu. Namun harapannya sirna. Yang ia lihat adalah seorang lelaki
paruh baya dengan setelan jas mahal.
“Jagoan
ini kenapa menangis?” ujar lelaki paruh baya itu. Mark mundur satu langkah,
tangisnya pun juga terhenti digantikan dengan tatapan was-was dan juga dengan
posisi tubuh yang sudah memasang kuda-kuda yang sempurna.
“Wah
tunggu dulu. Orang tua ini tidak akan menyakiti jagoan. Orang tua ini justru
akan menolongmu, nak. Akan bahaya jika kau di tengah kota seperti ini
sendirian.” Ujar sang lelaki paruh baya itu.
“Aku
bisa menjaga diri kok. Aku bisa bela diri.”
“Baiklah..
apakah jagoan ini tidak mau pulang?” tanya lelaki yang menggunakan setelan jas
ini. Kuda-kuda Mark melemah, matanya mulai sembab lagi. Mark mengangguk lemah.
“Apakah
kau tau alamat rumahnya?”
“Tidak,
tapi didalam tas ada denah yang dibuatkan ibu supaya aku tidak tersesat saat
pulang sekolah sendiri. Tapi kalau dari kota, aku tidak tahu arah pulang.”
Balas Mark sambil mencari-cari secarik kertas. “Nah, ini dia.” Tambah Mark
ketika menemukan kertas yang ia kira denah itu, lalu memberikannya ke lelaki
setengah baya itu.
Setelah
membuka secarik kertas itu, Thomas lelaki paruh baya itu segera mengelus-elus
kepala Mark dengan lembut. “Sepertinya jagoan ini harus tinggal bersama orang
tua ini. Ibumu akan menjemputmu nanti sore ditempatku.” Ujar Thomas bohong.
Senyum
Mark kembali merekah karena ia percaya bahwa ibunya pasti akan menjemputnya. Ia
percaya karena ibunya selalu menepati janji.
Thomas
membawa Mark ke sebuah perumahan elit menggunakan mobil yang bisa dibilang
mewah. Setelah dibawa ke sebuah rumah, Mark bertemu dengan beberapa orang
dewasa yang—menurutnya—tampak menakutkan. Akhirnya Mark memilih untuk bermain
di taman.
“Apa
maksudmu membawa seorang anak kesini? Kau kira tempat ini panti asuhan?” teriak
seorang kakek yang memiliki tubuh gempal.
“Maafkan
aku, ia dibuang oleh ibunya. Aku menemukan secarik surat di tas anak kecil
itu.” Balas Thomas lalu memberikan surat yang ia maksud.
“Tolong
besarkan jagoanku ini. Ia bisa diandalkan, aku yakin itu. Di tasnya juga berisi
sejumlah uang untuk biaya hidupnya sampai ia dewasa. Aku titipkan anakku
kepadamu.” Kata sang kakek itu bak mendekte soal ulangan. Kemudian meremas
kertas tersebut lalu meraih kerah Thomas dengan emosi.
“Apa?
Ka.. kau bilang, ibu akan menjemputku sore ini?” ucap Mark terbata. Matanya
mulai sembab lagi. Thomas menghampirinya, berlutut menyamakan tinggi. Meremas
lengan Mark pelan meyakinkan.
“Kau
tidak punya pilihan lain selain tinggal disini. Jika kau sudah besar, aku akan
membantu mencari ibumu.”
Setelah
kesedihan yang mengguncang hatinya berminggu-minggu, kini Mark mulai menerima
kenyataan. Kenyataan mengenai ia tinggal di camp agen rahasia dan tumbuh
bersama agen-agen kelas kakap. Hari-harinya dipenuhi latihan dan latihan.
Ia
terus berlatih mengembangkan diri, berproses untuk menjadi yang terkuat, tegas
dan berpendirian seperti janji yang ia buat dengan ibunya. Tahun demi tahun ia
lewati sebatang kara tanpa kasih sayang keluarga, kini ia tumbuh sebagai
seorang remaja dengan kekuatan fisik yang tak dapat ditandingi oleh anak
seumurannya bahkan orang dewasa sekali pun.
Tak
hanya fisik, kecerdasannya juga dapat diacungi jempol. Kemahirannya menggunakan
beberapa senjata juga tak dapat diragukan. Mark kini menjadi agen rahasia kelas
atas. Bahkan ia menjadi snipper top termuda yang pernah ada.
Suatu
ketika ia mendapat panggilan dari bos. Ia mendapat tugas eksklusif untuk
membunuh seorang pencuri perhiasan. Untuk tugas itu, ia akan dilatih oleh
Thomas selama sebulan.
“Mark,
apakah kau ingin bertemu dengan ibumu? Kau masih ingin mencarinya?” tanya
Thomas setelah selesai latihan.
“Tentu
saja, paman. Aku sangat merindukannya, wajahnya selalu hadir setiap hari dalam
benakku.”
“Kalau
begitu, aku akan mempertemukanmu dengan ibumu.”
“Apakah
kau serius, paman?” jawab Mark dengan nada yang bahagia.
“Ya.
Sebelum TKP berlangsung kau pasti akan bertemu dengannya. Berlatihlah dengan
giat supaya target kita mati, bukan kau.”
“Tentu
saja, jangan remehkan aku paman. Aku sudah dinobatkan sebagai snipper paling
top. Baiklah, aku akan berlatih. Entah kenapa aku begitu semangat di tugas kali
ini.” Ujar Mark kemudian tersenyum.
Hari
berikutnya, Mark berlatih lagi. Ia memegang senapan, siap membidik dengan
tatapan dingin. “One shot, one change! Kau hanya memiliki satu kesempatan untuk
menembak. Jangan sampai goyah! Apapun yang didepan matamu, ia adalah target
kita. Mengerti?!” ucap Thomas tegas dan hanya dijawab dengan sebuah anggukan.
Sebulan
telah berlalu, kini Mark harus menjalankan tugasnya. TKP kali ini berada di
bandara. Pukul sepuluh pagi si target diperkirakan sudah mendarat, Mark
ditemani beberapa orang sebagai timnya telah bersiap dibandara sejak pukul
delapan pagi.
“Paman,
seusai TKP apakah aku boleh izin? Aku ingin ke suatu tempat. Aku ingin
berkunjung ke makam ayahku. Hari ini adalah peringatan 10 tahun ia wafat.” Ujar
Mark.
“Pastikan
kau sukses dalam misi ini. Kau sudah tau risikonya kan? Jika kau gagal, tidak
dapat membunuh target kita, maka kau yang akan menjadi target kami
selanjutnya.” Balas Thomas kemudian membenarkan posisi kacamatanya.
“Percayalah,
semuanya akan beres seperti tugas-tugasku yang sebelumnya.” Jawab Mark kemudian
meninggalkan Thomas dan bergegas ke posnya.
Dengan
setelan jas hitam Mark berdiri gagah diposnya. Remaja berusia delapan belas
tahun itu kini sedang melakukan perannya sebagai agen rahasia. Ia mempersiapkan
pelurunya, hanya satu peluru. Ia akan menembak target satu kali.
Waktu
menunjukkan pukul sepuluh, kerumunan orang mulai keluar dari terminal menuju
hall. “Pastikan kau tidak lengah, target sudah mendekati posmu.” Suara Thomas
terdengar dari alat pendengar yang tersambung ke telinga Mark. Pemuda itu fokus
memperhatikan setiap pengunjung, ia menerima sebuah gambar dari Thomas, gambar
sang target. Sebulan ini mereka masih menyembunyikan wajah target mereka dari
Mark, sedikit mencurigakan memang.
Pupil
mata Mark membesar, ia berharap salah lihat. Gambar yang dikirim Thomas adalah
seorang yang ia cari-cari selama ini, ibunya. Jantungnya mulai berdebar tidak
normal, kakinya goyah, ia tak dapat berdiri tegak lagi. “Kau sudah menerima
gambarnya? Pastikan untuk menembaknya sampai mati.” Suara Thomas terdengar
lagi.
“Bagaimana
bisa aku akan membunuh orang yang selama ini ku cari? Bagaimana bisa aku akan
membunuh orang yang melahirkanku? Kenapa kau menugaskanku untuk membunuh ibuku
sendiri? Kau masih punya akal, kan?” balas Mark sedikit berteriak, ia frustasi.
“Aku
merekomendasikanmu ke bos supaya kau bisa melihat ibumu. Ini adalah cara
terbaik. Setidaknya kau bisa melihat ibumu sebelum ia mati. Kau tahu sendiri,
ibumu adalah pencuri perhiasan kelas atas. Polisipun tak bisa menangkapnya. Kau
memiliki dua pilihan sekarang. Pertama, kau membunuh ibumu. Kedua, kau dan
ibumu akan mati....” ujar Thomas.
Mark
bergidik ngeri, ia dilema. Ia tak mungkin mengkhianati tempatnya dibesarkan,
tapi ia tak sanggup membunuh ibunya. “Semoga kau tak salah pilih, Mark.” Lanjut
Thomas.
Mark
memosisikan tangannya di senapan, tangannya bergetar, seluruh tubuhnya
bergetar. Ia merasa biadap, tak pantas untuk dipanggil seorang anak. Kemudian
kenangan-kenangan bersama ibunya muncul kembali membuat Mark semakin tak
berdaya.
“Mengapa
ibu harus kembali? Mengapa ia harus muncul? Mengapa ia kembali ke kota ini?
Mengapa ibu muncul saat hari peringatan kematian ayah? Menga..” ucapannya
terhenti, ia teringat sesuatu. Ia akhirnya sadar alasan mengapa ada buket bunga
di makam ayahnya setiap tahun, padahal tidak ada kenalan ataupun sanak saudara.
Ternyata pengirimnya adalah ibunya, yang setiap tahunnya selalu mengunjungi
makam suaminya.
“Jadi
ibu yang memberikan bunga itu setiap tahunnya untuk ayah?”lanjut Mark, suaranya
parau.
“Target
ada di depan matamu. Fokus!” suara Thomas terdengar lagi.
Mark
segera kembali ke dalam posisinya, matanya mencari-cari sang target. Tangannya
kembali bergetar saat melihat seorang wanita berambut panjang yang mengenakan
gaun casual bewarna putih. Mark yakin ialah ibunya, ialah target yang harus ia
bunuh. Saat itu Mark hanya ingin berlari ke arah ibunya dan ingin memeluknya
erat-erat. Wanita itu, sang pencuri perhiasan kelas atas, orang yang
melahirkannya, orang yang ia sayangi.
Target
mendekat, air mata Mark mulai nampak disudut-sudut matanya. Ia masih dilema
besar, jika ia memilih untuk egois, ia akan membunuh ibunya supaya hidupnya
aman. Jika ia memilih sebagai seorang anak, tentu saja ia ingin menyelamatkan
ibunya. Target semakin mendekat, ia masih belum menentukan pilihan. Waktunya
semakin mepet. Ia tak punya pilihan lain.
Jarak
antara dirinya dengan sang ibu hanya sepuluh langkah. Dengan berat hati, Mark
harus meninggalkan salah satunya. Ia segera menarik pelatuk senapan. Ia
mebelokkan beberapa derajat sehingga justru mengenai bohlam lampu bandara dan
akhirnya membuat geger para pekerja dan juga penumpang.
Detik-detik
menjelang kematiannya, akhir hidupnya. Mark hanya memiliki satu kesempatan
untuk menyelamatkan ibunya. Segera setelah menekan pelatuknya, Mark berlari ke
arah ibunya, memeluknya untuk sepersekian detik lalu menggandeng tangannya dan
segera melarikan diri.
Seperti
yang Mark duga, orang-orang yang dibawa Thomas segera mengeluarkan senapannya
dan meluncurkan pelurunya ke arahnya.
“Ibu,
aku akan melindungimu. Tenang saja.” Ucap Mark singkat menjelaskan segalanya.
Awalnya ibunya tak mengenalinya, namun setelah Mark berbicara, dan melihat
bentuk wajahnya, sang ibu langsung mengenali bahwa remaja yang melindunginya
ini adalah anak yang ia tinggalkan sepuluh tahun silam di tengah kota. Ibunya
tersenyum melihat punggung anaknya yang dari belakang, ia sudah menjadi pria
dewasa.
Keduanya
melarikan diri ke tempat yang aman, mereka ke pemakaman. Keduanya menunduk,
menatap batu nisan yang bertuliskan nama seorang lelaki yang mereka sayangi.
Wanita itu menggenggam tangan anaknya, kemudian mulai menangis.
“Mengapa
ibu meninggalkanku? Bahkan aku harus jadi seorang agen rahasia supaya bisa
bertemu denganmu, sebelum aku membunuhmu. Kau jahat sekali, bu.”
“Maafkan
ibu. Aku hanya ingin kau selamat, tidak menjadi buronan sepertiku. Aku hanya
ingin kau hidup aman dan damai tanpa ada seorang pencuri sepertiku.” Jelas
ibunya. Mark balas menggenggam tangan ibunya.
“Sekarang
aku telah menjadi buronan juga. Ibu harus bertanggung jawab.” Balas Mark
kemudian tersenyum.
“Maafkan
aku nak...”
“Ibu,
walaupun aku seorang buron atau agen rahasia ataupun polisi sekali pun, aku
tidak akan bisa membunuhmu. Jika aku membunuhmu, aku tak akan bisa menjadi
jagoanmu. Aku tak ingin masuk neraka karena membunuhmu. Aku sudah membunuh
banyak orang, tapi jika targetku adalah dirimu. Dengan segala kemampuan yang
aku miliki, aku akan melindungimu bagaimana caranya. Karena kau adalah ibuku,
satu-satunya yang paling berharga dalam hidupku...”
-END-
sukak, banyak yang typo say xD makam jadi makan, harapannya jadi sarapannya xD
BalasHapusAih makasih udah baca say xD sudah ku perbaiki. Thanks yaa! anw, ini erwin atau loly? :v
Hapuserwin :v
Hapus