Kelabu yang Tak Kunjung Pergi
Kelabu yang Tak Kunjung Pergi
Sabtu
pukul lima sore, aku menantimu di bangku taman. Hembusan angin yang selalu
menemaniku setiap saat terdengar seperti ejekan.
“Sudah,
pulang saja! Dia tak akan menemuimu!” begitulah angin memberi tahuku.
Awan
kelabu mulai menyingkirkan warna jingga di langit. Bulan November selalu
mendatangkan kisah sedih dalam kehidupanku. 2 tahun lalu, aku kehilangan orang
terpenting dalam hidupku. November lalu, aku kehilangan hewan peliaraanku. Dan
sekarang, mungkin aku akan kehilanganmu.
“Nak,
sedang apa kau di sini?” ujar seorang kakek yang sedang olahraga sore
membangunkanku dari perasaan kelam. Aku hanya tersenyum padanya.
Aku
harus menunggunya sampai pulang. Aku ingin memeluknya dan menggenggam tangannya
sampai rumah. Duniaku benar-benar kelabu tanpanya.
Kilatan
putih muncul disela-sela kelabunya awan. Suara menggelegar pun ikut menyusul.
Tangan kakek itu tiba-tiba menggenggam tanganku lembut.
“Nak,
sepertinya hujan akan segera turun. Sebaiknya kamu pulang.” Saran kakek itu
lembut.
Aku
memandangi langit kelabu itu, langit yang seolah akan melenyapkanku jika tak
segera mencari tempat berlindung. Nampaknya, aku harus mengikuti saran kakek
itu.
Samar-samar
ku dengar kakek itu berbicara sesuatu yang tak ku pahami, yang membuat hidupku
sama kelabunya dengan langit sore ini.
“Kasihan
anak itu, ia selalu menunggu ibunya pulang kerja di situ setiap Sabtu. Padahal
ibunya sudah meninggal dua tahun lalu.”
Komentar
Posting Komentar