Penyandang Predikat Baper

Judul                     : Penyandang Predikat Baper
Author                  : Uci Pradipta
Genre                   : Romance, Baper, School, Drama, Menye.
Type                     : Short Story.
Ratting                  : PG
Disclaimer            : Semua char adalah hasil dari imajinasi saya, dan jika ada kesamaan karakter dan nama hanyalah ketidaksengajaan belaka. Tidak ada unsur curhat dalam cerita pendek ini. Masih perlu komentar, kritik dan saran. Monggo dibaca, enjoy!



Penyandang Predikat Baper

Mungkin hal ini merupakan sesuatu yang lumrah dirasakan para remaja. Pasti kamu pernah merasakan situasi dimana hatimu masih memanggil-manggil nama seorang mantan kekasih tapi kamu sudah terlanjur nyaman dengan seseorang yang baru. Apa yang harus dilakukan?

Dalam hal ini terdapat dua predikat yang menempel pada diri kita; gagal move on dan juga pemberi harapan palsu. Dan aku sama sekali tak ingin menyandang kedua predikat ini.
Suatu hari aku menghadiri sebuah acara terakhir di masa putih abu-abu; prom night. Sebagai seorang remaja perempuan tentu saja aku ingin tampil cantik pada acara tersebut. Sebuah dress berwarna peach yang manis ternyata sangat cocok untukku.

“Hei, Git!” ujar seseorang dibelakang. Ah, yang benar saja. Aku sungguh-sunggh tak ingin menoleh sedikitpun ke belakang.

“Ah, halo Adit.” Akhirnya aku membalas sapaan orang itu. Seseorang yang dapat ku lihat, namun tak dapat ku sentuh. Mantan.

“Git, tumbenan kamu pakai dress, biasanya style ala gorilla. Cantik lho kalau kamu kayak gini!” ceplosnya dengan wajah yang sumringah. Ah, suasana ini…. Bikin baper. Walaupun sudah menjadi ‘mantan’ kebiasaan ceplas-ceplos di antara kami masih saja terjadi.

“Gorilla? Haha thanks ya mbah bewok.” Balasku mencoba untuk tidak baper.
Kemudian muncullah seseorang dari kejauhan. Dengan jas warna krem dan dengan rambut gaya boyband; poni lempar, Ibnu menghampiriku.


Ulala, what an awkward time. Si mantan dan si orang baru itu kini ada di depanku. Beruntungnya mbah bewok yang dulunya pernah menjabat jadi ‘pacar’ itu tak tahu mengenai kedekatanku dengan mas poni lempar ini.


“Lho, kok sendirian Git? Katanya tadi sama temennya?” sapa Ibnu yang terdengar seperti pertanyaan.

“Eh, halo Ibnu.. eh aku sama…” jawabku menggantung, berfikir siapa yang akan menjadi korban elakanku kali ini.

“Gita dateng sama aku, bro. Kenalin aku pac.. temennya.” Ujar Adit hampir keceplosan menyebut dirinya sebagai pacar. Dari perkataannya tersebut, aku bisa mengetahui kalau dia juga belum move on dariku.

“Enggak kok, tadi aku sama Dara datengnya. Sekarang Dara baru sama Galih.” Elakku meyakinkan Ibnu.

Lho? Kenapa aku justru mengelak? Mengapa aku ingin mengelak perkataan Adit untuk Ibnu disaat aku juga merasa senang saat Adit berkata seperti itu? Yah ini masalah klasik yang mengganggu pikiran dan perasaanku.

Disinilah aku mulai paham mengapa ada predikat ‘gagal move on’ atau ‘pemberi harapan palsu’. Aku tidak berharap mendapatkan kedua predikat tersebut. Entah ini takdir atau kebetulan, pasti Allah telah mengatur pertemuan ini. Aku memberanikan diri untuk berkata jujur dihadapan keduanya.

“Guys, aku pingin ngomong sesuatu ke kalian.” Ujarku serius membuat kedua remaja yang beranjak dewasa itu menatapku.

“Sebelum segalanya menjadi semakin runyam, aku ingin mendeklarasikan niatku menjadi independent woman. Jujur, entah kenapa aku masih saja menyebut nama Adit padahal aku sudah nyaman dengan Ibnu. Aku tahu ini seakan-akan mempermainkan perasaan kalian, padahal justru perasaanku yang sedang dipermainkan. Jujur saja aku tak ingin mendapatkan predikat ‘gagal move on’ atau ‘pemberi harapan palsu’ terhadap kalian. Aku.. aku hanya tidak ingin kalian nantinya membenciku karena sakit hati, dan aku pun juga tak ingin membenci kalian.” Jelasku panjang lebar.

“Kalau pun akan ada persaingan diantara kami, pasti akan menjadi persaingan sehat. Aku janji.” Ucap Ibnu meyakinkan ku, ia ingin aku memberikan kesempatan untuknya.

“Yah, sebenarnya aku juga belum memutuskan untuk move on. Saingan secara sehat? Boleh lah.” Balas Adit justru membuatku semakin tak habis pikir.

“Ibnu, Adit. Aku baru saja mendeklarasikan tentang keinginanku untuk menjadi independent woman. Dan kalian justru berbicara seperti itu? Yah, entah bagaimana aku justru semakin ingin menjadi independent woman setelah melihat respon kalian. Aku tidak ingin ada rasa benci diantara kita. Dengan prinsipku yang baru ini, kalian jangan berfikir bahwa aku akan menghindari kalian atau semacamnya. Buka begitu, aku hanya ingin sendiri saja. Dan aku harap kalian justru bisa membantuku untuk menjalani keseharian sebagai independent woman.” Jelasku lagi sampai mereka mulai memahami perasaanku.


Inilah yang ku lakukan agar kedua predikat  itu menghilang, dengan prinsip hidup yang baru. Lalu, bagaimana dengan kalian?



-----
(Source gambar: tenmienmienphi.co)

Komentar

Postingan Populer