Aku Bukan Kartini

Judul                     : Aku Bukan Kartini
Author                  : Uci Pradipta
Genre                   : Remaja, Politik, Romance.
Type                     : Short Story.
Disclaimer            : Semua char adalah hasil dari imajinasi saya, dan jika ada kesamaan karakter dan nama hanyalah ketidaksengajaan belaka. Tidak ada unsur curhat dalam cerita pendek ini. Masih perlu komentar, kritik dan saran. Dan cerita pendek ini niatnya lanjutan dari Pendidikan Politik Bagi Perempuan yang sudah saya post di ( Part 1Part 2 dan Part 3 ) Monggo dibaca, enjoy!




Aku Bukan Kartini


Hari yang ku damba selama ini telah datang. Hari di mana aku tak lagi mengenakan seragam putih abu-abu. Ya, kini aku sudah duduk di bangku kuliah. Masa kelam masa SMA akan ku kubur dalam-dalam. Kini aku sudah pindah ke Jakarta, berharap tak satu pun orang yang mengenalku dan menyadari sesuatu tentangku.
Masa orientasi maba hari terakhir ini tidak berakhir mulus sesuai harapanku. Seseorang telah menyadari sesuatu pada diriku. Rasanya sama saja terhempas ke masa lalu yang begitu kelam.
“Wah, ternyata benar! Kamu sangat mirip dengan RA Kartini!” ujar seorang senior perempuan.
“Tidak, mungkin perasaan kakak saja!” balasku sambil menunduk menyembunyikan wajahku.
“Iya! Dari jauh sekilas terlihat mirip, tapi setelah dilihat dari dekat malah terlihat sama persis! Kau pasti renkarnasinya, dik!” kakak senior itu bermonolog sendiri kemudian pergi ke kerumunan senior yang lainnya.
Aku bernafas lega karena ia tak bertanya atau pun mengobservasi tentangku lebih jauh lagi. Aku berharap tidak ada yang menyadarinya lagi. Memiliki wajah yang mirip dengan idola para perempuan RA Kartini merupakan suatu anugerah dan juga tantangan.
Masa SMA ku begitu kelam karena wajah yang mirip RA Kartini ini. Mulai dari ejekan Kartini palsu, Kartini manja atau pun hal-hal yang mengenai emansipasi wanita. Semuanya melelahkan, aku tak ingin kejadian-kejadian kelam itu teruang lagi.
“Dik Kartini! Dik Kartini, maju ke sini dong!” teriak kakak senior membuyarkan kenangan masa laluku.
“Ap.. apa?” balasku penuh dengan kekhawatiran.
“Hari terakhir ini, kita akan mendengar orasi dari sang pejuang kaum perempuan, RA Kartini! Adik yang mirip RA Kartini silakan maju ke depan dan segera memberikan orasi.” Ujar kakak senior yang bertugas menjadi MC itu menggunakan alat pengeras suara. Semua maba nampaknya terusik dan menoleh ke segala arah untuk mengetahui siapa ‘adik yang mirip RA Kartini’ yang sebenarnya. Mau tak mau aku harus maju ke depan, aku tidak ingin mendapat masalah.
Semua orang nampaknya terkesima melihat rupaku yang mirip RA Kartini. Perasaan tidak enak telah muncul, sebuah pertanda.
Aku menerima microphone yang diberikan MC. Tanganku dingin. Kakiku lemas. Jantungku berdebar kencang. Aku bukan RA Kartini dan aku tidak mirip. Kalimat itulah yang terus terulang di dalam hatiku.
“RA Kartini..” bibirku mulai mengeluarkan sepata kata. Semuanya hening.
“Aku bukan RA Kartini dan aku tidak mirip dengan beliau!” ujarku dengan nada yang tinggi. Ah, akhirnya kalimat itu keluar juga. Tanganku begitu lemas setelah meneriakkan kalimat tersebut. Microphone pun melesat dari genggamanku. Semua orang menutup telinganya karena dengingan yang cukup keras dan membuat keheningan yang lebih menyeramkan lagi.
Ya, masa kelam akan mulai lagi.
**
Setelah masa orientasi selesai dan kelas dimulai, teman-teman seangkatan menyebutku dengan ‘Kartini modern’ karena penampilanku yang modis namun dengan rasa wajah zaman dahulu. Sebutan itu masih belum ada apa-apanya daripada perlakuan dari para lelaki.
Misalnya sewaktu ada kerja kelompok dan memerlukan buku setumpuk dari perpustakaan kampus, para lelaki menyuruhku untuk mengambilnya. Sedangkan mereka para lelaki justru tidak melakukan apa-apa, hal tersebut disebabkan karena “emansipasi wanita” yang telah diungkapkan RA Kartini.
Bukan hanya hal itu, perkataan tidak senonoh juga tak lupa dilontarkan oleh kaum laki-laki kepadaku.
“Hai Kartini modern!” ujar Randy teman satu prodiku.
“Namaku Riana! Bukan Kartini!” balasku ketus, sudah lelah dengan sebutan itu beserta perlakuan yang justru lebih ke melecehkan.
“Riana, laki-laki dan perempuan itu derajatnya setara, kan? Yah, kesetaraan gender begitu.”
“Tentu saja! Perempuan juga memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.”
“Kalau begitu, malam ini kau tidur denganku ya? Katanya laki-laki dan perempuan itu sama derajatnya?”
Ubun-ubunku terasa panas. Darahku terasa panas, aku naik pitam. Namun amarah itu tak akan ku keluarkan. Akan sia-sia jika aku emosi dan berdebat dengan seseorang yang tidak paham bahkan gagal paham. Aku tersenyum saja pada Randy.
“Kau itu pura-pura tidak paham atau memang tidak mau paham? Kesetaraan gender atau emansipasi wanita bukan digunakan untuk hal seperti itu. Ah, atau mungkin, kau malah menyalah gunakan hal tersebut?” Balasku sedingin dan sedatar mungkin, kemudian meninggalkan Randy.
Hari ini aku sering melakukan monolong. Aku kesal, resah, sebal dan sedih. Orang-orang justru menyalah gunakan kesetaraan gender ataupun emansipasi wanita. Saat emosi, aku memilih untuk ke kantin saja mengisi perut supaya tidak urung-uringan sendiri. Dan ada hal bagus yang ku temui ketika perjalanan ke kantin.
Sekelompok mahasiswi—sepertinya dari prodi kesenian tari—yang mengenakan rok diatas lutut sedang duduk di kursi taman dan ada satu yang sedang menari di depan. Mereka cantik sekali. Sembari melihat gerakan tari yang membuat hati tenang itu, aku melihat sesuatu bergerak-gerak dari balik semak.
Sebuah tongsis muncul dan kemudian memosisikannya di bawah kursi taman. Aku yakin,lensa kamera itu mengarah di sekitar pantat dan paha para mahasiswa itu.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung melangkahkan kakiku menuju semak-semak itu. Dan yah, yang benar saja. Aku menemukan dua orang mahasiswa yang menyamar seperti semak-semak.
“Halo! Akan ku laporkan kalian dengan pasal kejahatan seksual, dan penyalah gunaan teknologi.” Ujarku saat menemukan kedua orang itu. ku tarik saja mereka berdua keluar semak-semak, membuat para mahasiswi seni tari itu berteriak heboh. Setidaknya dua pukulan mendarat disetiap wajah mereka. Kamera mereka pun ku sita. Yang benar saja, isinya hanya paha-rok pendek-celana dalam saja. Mereka benar-benar keterlaluan.
Setelah ku perlihatkan isi kamera tersebut, para mahasiswi seni tari itu menampar kedua oknum mesum itu. Dan setelah pihak sekolah mengetahui hal tersebut, kedua orang itu langsung dihukum.
Dari kejadian tongsis itu, aku ingin menjadi salah satu anggota BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Aku ingin membenarkan mengenai kesetaraan gender, emansipasi wanita maupun tentang menghargai kaum wanita. Aku ingin menyelamatkan saudari-saudariku yang lain.
Setelah seleksi dan akhirnya berhasil masuk, aku ingin membuat sebuah organisasi kesetaraan gender. Aku ingin meluruskan beberapa hal. Proposal pun sudah diajukan, namun rektor justru menolaknya dengan alsan berbelit.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengumpulkan massa terlebih dahulu untuk menguatkan alasan mengapa organisasi ini perlu dibentuk. Beruntungnya kak Melia, senior yang pertama kali menyadari kemiripanku dengan RA Kartini mau membantuku untuk mengumpulkan massa. Dan ia juga bersedia untuk menjadi anggota.
Setelah seminggu, akhirnya aku mendapatkan sepuluh orang yang mau berjuang bersamaku. Kak Melia, Kak Cindy, Galih, Ratih, Imelda, Laras, Andri, Kak Sukma, Kak Firman, dan Maulana merupakan orang-orang yang sependapat denganku. Kesetaraan Gender tidak muluk hanya menerima perempuan saja, tapi laki-laki juga.
Hari Selasa pukul Sembilan pagi kami menuju ruang rektor, dengan membawa segenap argument dan materi yang sudah di padatkan. Kami mencoba presentasi di depan rektor. Setelah perdebatan yang panjang akhirnya bapak rektor setuju untuk membuat sebuah organisasi kesetaraan gender yang bekerja sama dengan sebuah LSM.
**
“Riana, kenapa kamu nggak mau dipanggil Kartini Modern?” Tanya Maulana membuyarkan lamunanku.
“Aku nggak mau aja, mendapat sebutan Kartini membuat beban tersendiri bagiku.”
“Lho, padahal menurutku keren Na.”
“Apanya yang keren sih?” balasku kemudian menopang dagu.
“Hak-hak wanita saja kamu perjuangkan habis-habisan seperti ini, apalagi jika kamu memperjuangkan hubunganmu dengan pacarmu.” Ujar Maulana sembari membenarkan posisi kacamatanya.
“Asal kamu tau, aku ini sudah terlalu asik dengan duniaku sendiri. Sudah terlalu lama sendiri kalau kata Kunto Aji.”
“Kalau begitu aku saja yang jadi pacarmu, biar bisa kamu perjuangin habis-habisan. Gimana?” ucap Maulana kemudian ikut-ikut bertopang dagu namun menatapku dengan senyuman menenangkan.
Aku berdiri dan membelakanginya, aku takut pipiku memerah karenanya. Entah mengapa Maulana terasa berbeda dengan lelaki yang lainnya.
“Ngomong apa kamu itu. Ayo kumpul dengan yang lainnya! Beberapa hari lagi sudah workshop pertama kita!” ujarku sebelum meninggalkan Maulana.
Ya beberapa hari lagi kami mengadakan workshop mengenai kesetaraan gender di kampus. Aku rasa ini akan menjadi tantangan, karena aku yakin, pasti banyak yang menentang kesetaraan gender ini.
Setelah persiapan yang matang, akhirnya workshop pertama kami dilaksanakan. Hari pertama dengan tema kejahatan dan pencegahan. Jumlah peserta workshop awalnya hanya ada 50 orang, namun semakin ke tengah acara jumlah peserta semakin bertambah. Total ada 70 orang yang datang dengan presentase tujuh puluh persen perempuan dan sisanya laki-laki.
Pengisi materi hari ini adalah Galih dan kak Firman. Awalya Galih bercerita tentang pengalamannya beberapa saat lalu di taman kampus. Ia salah seorang korban dua oknum mesum itu. Selanjutnya ia memberikan tips agar terhindar dari kejahatan seksual. Selanjutnya Kak Firman memberikan materi mengenai kejahatan dan juga akibatnya, ia menekankan hal tersebut untuk para lelaki. Hari pertama berjalan lancer sesuai rencana.
Hari kedua. Giliranku dan Maulana menjadi pengisi materi. Kesetaraan Gender dan Hak-Hak Perempuan menjadi topic disini.
“Halo, nama saya Maulana. Saya orangnya ini cakep. Banyak yang suka sama saya, tapi saya suka sama perempuan yang hebat. Perempuan hebat yang berpendidikan tinggi dan kelak pasti mampu untuk mendidik anak-anak saya dengannya. Jadi, perempuan hebat seperti itu merupakan perempuan yang paham akan dirinya sendiri. Maksudnya? Ya, tentu saja perempuan yang mengerti akan hak-haknya di segala aspek kehidupan. Nah, saya akan menjelaskan mengenai kesetaraan gender. Sebelumnya saya mau Tanya, gender menurut teman-teman itu apa sih?” ujar Maulana memulai materinya.
“Gender itu jenis kelamin.” “Gender itu seks.” Dan jawaban lainnya yang terdengar dari bangku penonton.
“Nah, disini ini teman-teman sepertinya ada kesalah pahaman. Kalau salah paham nanti bakal nggak sejalan nih. Saya jelaskan ya teman-teman. Jadi, sebenarnya gender itu adalah peran, perilaku, kegiatan dan tampilan yang terbangun secara social, diberikan oleh masyarakat yang dianggap pas untuk laki-laki dan perempuan. Sedangkan jenis kelamin itu apa? Jenis kelamin berarti karakter biologis dan psikologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.” Jelas Maulana dengan gaya bicara yang mengesankan. Nampaknya ada peserta yang justru meikmati wajahnya yang rupawan daripada materinya. Yah, sepertinya aku punya saingan. Eh, tunggu dulu, aku harus focus. Sebentar lagi sudah giliranku untuk mengisi materi.
“Perkenalkan, nama saya Riana Setiyawati. Banyak orang yang menyebut saya dengan Kartini Modern, yah, awalnya sih karena wajah saya yang mirip. Namun, baru-baru ini ada yang menyebut saya dengan Kartini Modern karena saya memperjuangkan hak-hak perempuan. Yah, mari langsung menuju ke topic.
Hak-hak perempuan? Apa saja sih? Dalam aspek bermasyarakat, perempuan memiliki hak-hak khusus. Perempuan memiliki empat belas rumpun hak yang didasari pasal-pasal dalam UUD 1945. Disini saya akan membahas salah satu rumpun hak tersebut yaitu Hak bebas ancaman,diskriminasi dan kekerasan: hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dalam pasal 28 I ayat 2.
Nah saya mau bercerita dulu ya teman-teman. Karena wajah saya ini mirip RA Kartini, banyak yang menyalah gunakan arti dari emansipasi perempuan atau pun kesetaraan gender. Contohnya seperti ketika saya disuruh untuk mengambil barang-barang yang berat oleh kaum lelaki atas nama emansipasi perempuan. Ya, oke memang saya bisa melakukan itu. Tapi apa pantas seorang laki-laki menyuruh perempuan untuk bekerja seperti itu sedangkan mereka justru leyeh-leyeh dan tidak melakukan apa-apa? Enggak, kan?
Kemudian, yang kedua. Ketika seorang teman laki-laki saya berbicara mengenai kesetaraan gender. Dia berbicara bahwa jika laki-laki dan perempuan itu sederajat, ia mengajakku untuk tidur bersamanya atas dasar laki-laki dan perempuan itu sama. Hal itu jelas-jelas berbeda.
Mari kita bahas, yang pertama dengan adanya kesetaraan gender, kita para perempuan dapat mengenyam pendidikan tinggi dan juga bisa mendapatkan pekerajan dengan posisi yang tinggi juga. Ya, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin, dan pendidikan yang tinggi. Mengapa perempuan perlu berpendidikan tinggi? Karena perempuan nantinya pasti akan mendidik anaknya. Kalau seorang perempuan tidak memiliki cukup ilmu, maka bagaimana dia akan mendidik anaknya? Bener, kan?
Selanjutnya, mengenai pengalaman saya yang kedua. Ya, memang perempuan dan laki-laki itu sama. Yang dimaksud dengan kesetaraan gender disini bukanlah sebuah pergaulan yang bebas. Kita perempuan Indonesia, memiliki norma. Dan norma ini mutlak untuk ditaati. Kesetaraan gender ada bukan untuk melanggar norma. Kesetaraan gender ada bukan untuk disalah gunakan.” Jelasku panjang lebar.
Kemudian ada sesi tanya jawab. Dan yang banyak merespon justru dari kaum laki-laki. Mereka belum juga paham rupanya. Kemudian aku kembali menjelaskan dengan dibantu kakak-kakak dari LSM yang bekerjasama dengan kami.
Sukses, workshop pertama kami dengan hasil yang bagus. Kami mendapat banyak anggota baru, setidaknya bertambah lima belas orang. Semakin lama organisasi kami semakin berkembang. Dan semakin lama semakin banyak orang yang lebih paham mengenai emansipasi perempuan atau kesetaraan gender. Aku bersyukur atas hal tersebut.
Kini teman-teman yang senang mengatas namakan kesetaraan gender untuk memperbudak perempuan sudah jumlahnya merosot tajam. Sudah tidak ada tindak kejahatan seksual lagi. Dan tebak, ketua BEM kampusku yang biasanya laki-laki sekarang bisa diduduki oleh perempuan. Kak Meila. Senang juga rasanya mendapat kabar bahwa dia dipromosikan menjadi ketua BEM dan pada akhirnya menjadi ketua mengalahkan calon ketua yang lainnya.
Sedangkan aku? Tentu saja aku masih memperjuangkan hak-hak perempuan. Aku masih ingin membantu para perempuan untuk bangkit.
“Riana! Riana!” teriak seseorang membuyarkan pikiranku. Ku langkahkan kaki menuju sumber suara. Ah, ternyata Maulana.
“Ada apa?” tanyak datar.
“Kamu siapa?” Tanya Maulana membuatku bingung.
“Aku Riana. Kamu baru saja memanggilku dan bertanya siapa aku?”
“Lho, bukannya kamu Kartini ya?”
“Aku bukan Kartini.”
“Tapi kenapa kamu memperjuangkan hak-hak perempuan?”
“Karena memang perlu diperjuangkan.”
“Wah, kamu mencuri kalimatku!”
“Kok bisa?”
“Aku masih saja menyayangimu walaupun banyak gadis yang mendekat. Karena kamu memang perlu diperjuangkan.” Balas Maulana dengan nada yang serius.
Aku tersipu.
“Hai kamu Kartini Modern, Riani. Maukah kau menjadi istriku?”
Udara mendadak terasa manis. Duniaku berubah.

Aku bukan Kartini. Aku hanyalah seorang gadis yang menemukan calon imam keluarga karena memperjuangkan hak-hak perempuan. 

-Selesai-


-------
(source image: terlampir)

Komentar

Postingan Populer