Fanfic: The Words I Want To Tell You


Ini fanfic buatannya Dinchan Tegoshi atas raquestanku. Sou.. mohoon dinikmati

*******

Title : The Words I Want To Tell You
Author : Dinchan Tegoshi
Type   : Oneshot, SongFic
Song : Good Day by. IU
Genre : Romance *yeaaaaahhhhh!!*
Ratting : PG banget~ XP
Fandom : JE
Starring : Morimoto Ryutaro (HSJ), Morimoto Shintaro (Johnnys Jr.) Yaotome Ichiko (OC), Fukuzawa Saya (OC), and others that don’t have to mention... LOL
Disclaimer : I don’t own all character here. Ryutaro Morimoto and Shintaro Morimoto are belongs to Johnnys & Association. Other character is my OC, except Fukuzawa Saya that I borrowed from my daughter..LOL. Request from Ichiko alias Ucii Pradipta... it’s just a fiction, read it happily, and I do LOVE COMMENTS... pelase comments... Thanks.. ^^


Siang yang begitu terik membuat mata Ichiko sedikit menyipit, ia tak begitu suka matahari karena buatnya sungguh tak adil dimana teman – temannya bisa dengan santai menghadapi matahari, sementara untuknya yang berdarah campuran Indonesia, matahari kadang jahat membuatnya sedikit menghitam.


“Kau butuh bantuan?”, tanya seseorang yang membuat Ichiko menoleh memandang laki – laki yang ternyata adalah kakak kelasnya.


“Morimoto senpai…”, kata Ichiko sedikit kaget dengan kedatangan Ryutaro.


“Sini… aku bawakan..”, tanpa basa – basi Ryutaro mengambil kantung bola basket yang sejak tadi susah payah ia bawa setelah kalah janken dengan teman – temannya yang piket hari ini.


“Itu… senpai… tak usah!!”, protes Ichiko sambil mengejar Ryutaro berusaha mengambil kembali kantung itu.


Ryutaro berbalik tiba – tiba menghadap ke Ichiko, “Ssshhtt…”, katanya sambil dengan cueknya membawa kembali kantung itu.


“Senpai.... arigatou…”, kata Ichiko malu – malu memandang kakak kelasnya yang selama ini ia kagumi itu.


Ke kaguman itu sudah ia rasakan sejak ia bertemu dengan Ryutaro setahun lalu saat ia masuk ke sekolah ini. Pertama kali melihat sosok Ryutaro yang begitu baik dan selalu ramah bahkan terhadap anak baru, membuatnya kagum. Terlebih Ryutaro punya fisik yang menurut Ichiko sebagai ‘The Perfect One’. 



Why is the sky so much more blue?
Why is the breeze so perfect today?



Ichiko masuk kelas setelah menyimpan semua peralatan olahraga tadi. Ia tak jadi marah pada matahari karena di bawah matahari itu ia justru bertemu dengan Ryutaro, orang yang setengah mati ingin ia temui. 


Pintu kelas tiba – tiba saja terbuka. Semua orang yang berada di kelas serentak menoleh ke arah pintu.


“Dia lagi…”, cibir Ichiko malas.


Semua orang di kelas itu tentunya bereaksi hampir sama dengan Ichiko. Karena satu orang yang penuh masalah kini masuk ke kelasnya. Ada saja ulahnya selama ini, entah itu menjahili orang lain, atau membuat keributan yang tak perlu.


Sebenarnya jika dilihat – lihat fisik laki – laki itu bisa dibilang terlihat sangat manis. Ditambah dengan otaknya yang cukup pintar seharusnya ia bisa jadi lebih populer. Tapi kelakuannya yang terkadang menyebalkan membuat hampir semua perempuan justru takut padanya.


“Ichiko-chaaannn…”, panggilnya pada Ichiko.


Satu lagi alasan Ichiko begitu sebal pada orang ini, ia adalah target kejahilannya.


“Mou… yamete…”, kata Ichiko yang kesal karena laki – laki itu merangkul bahunya, mendekatkan wajahnya pada wajah Ichiko.


“Aku tak mau berhenti sampai Ichiko menerimaku…”, sudah rahasia umum jika laki – laki ini suka pada Ichiko.


“Shin!! Ayo ke kantin!!”, panggil seseorang pada laki – laki itu.


“Wakatta!! Dadah Ichiko… nanti ketemu lagi…”, katanya sambil mencium pipi Ichiko yang disambut tamparan dari Ichiko.


“Yappari… Ichiko ga saikou!!!”, serunya senang.


“Bodoh…”, Ichiko mendelik pada Shintaro yang menjauh darinya.



Pretending like I don’t know
Like I didn’t hear a thing, like I erased it



“Shintaro mengganggumu terus ya Ichiko-chan?”, tanya Yuka, teman perempuannya yang duduk di sebelah Ichiko.


“Un… aku lama – lama kesal juga padanya.. hufft..”, keluh Ichiko.


“Apa Ichiko-chan pernah menjawab Shintaro-san dengan benar?”, tanyanya lagi.


“Maksudmu?”


“Iya… Shintaro-san kan menyukaimu… mungkin kalau Ichiko-chan menjawab perasaannya dengan benar, ia akan melepaskanmu… tak akan mengganggumu lagi…”, kata Yuka.


“Sou ne…”, Ichiko memang belum pernah mendengar pernyataan langsung dari Shintaro. Selama ini yang diperbuat laki – laki itu hanya terus mengganggunya, mereka tak pernah benar – benar berbicara berdua.




Sore ini Ichiko ada kegiatan klub basket. Ia memang bukan anggota klub, dirinya cuma sebagai manajer saja. Tapi itu membuatnya senang karena setiap kegiatan klub ia akan bisa melihat Ryutaro. Karena Ryutaro juga anggota klub ini, salah satu alasannya menjadi manajer klub basket.


Ichiko berada di samping lapangan sambil membereskan beberapa peralatan klub basket. Ia sesekali melihat Ryutaro yang sedang berlatih.


“Kakkoi ne…”, gumamnya senang.


Tak lama klub kendo putri lewat di pinggir lapangan. Beberapa detik kemudian Ryutaro berhenti dan matanya tak lepas dari seorang gadis yang tentunya satu angkatan dengan Ryutaro. Ichiko memang menyadarinya, pangerannya itu menyukai orang lain. Orang lain tak lain adalah kakak kelasnya, Fukuzawa Saya, ketua klub kendo putri. 


BRUKK!!


“Oooyy!! Ryuu!! Pass!!Pass bolanya!!!”, seru Kento berteriak pada Ryutaro yang selama beberapa detik malah melamun saja.


“Ah! Gomen!!”, jawab Ryutaro lalu memberikan bola pada Kento yang bebas dari kawalan lawan.


“Baka Ryuu.. kita kan tadi bisa kalah kalau kau terus melamun..”, tegur Kento, Ichiko yang memang berada di pinggir lapangan tak sengaja mendengar pembicaraan itu.


“Gomen na…”, kata Ryutaro.


“Maa ne… Fukuzawa-san lewat ya?”, goda Kento.


“Mou… sudahlah..lupakan..”, Ryutaro masuk ke ruang ganti.


Semua orang juga tahu satu hal, Fukuzawa Saya sudah punya pacar. Kerennya lagi pacarnya itu sudah kuliah, dulunya adalah murid SMA itu juga, bernama Arioka Daiki. 


“Eh…Ichiko-chan… belum pulang?”, Ryutaro baru saja keluar dari ruang ganti dan menemukan Ichiko di ruang penyimpanan.


“Masih ada yang harus aku bersihkan…”, jawab Ichiko sambil tersenyum pada Ryutaro.


“Hmmm… aku bantu ya…”, kata Ryutaro lagi.


“Tak usah senpai… biar aku saja.. tinggal mengepel ruangan saja kok…”, tolak Ichiko.


Ryutaro mengambil alat pel itu, “Sasuga Ichiko-chan memang manajer yang baik ya…”, katanya sambil mulai mengepel.


“Tak usah Ryuu-senpai.. eh anou.. Morimoto-senpai…”, Ichiko kelepasan memanggil nama kecil Ryutaro.


“Ii na… Ryuu-senpai ga ii na… panggil saja begitu..”, jawab Ryutaro sambil masih mengepel ruangan itu.


“Tak apa kah?”, tanya Ichiko pelan, ia berharap Ryutaro benar – benar membiarkannya memanggilnya begitu.


“Yup… tak apa, aku tak keberatan..”, kata Ryutaro.


“Arigatou senpai…”, Ichiko sangat senang mendengarnya.


“Hanya dua gadis yang memanggilku seperti itu. Ichiko-chan… dan Sacchan…”, kata Ryutaro tiba – tiba.


“Sacchan?”


“Fukuzawa Saya… sahabatku…”, jawab Ryutaro pelan, dan Ichiko bisa melihat kekecewaan di mata Ryutaro ketika ia mengatakan bahwa Saya adalah sahabatnya.




Should we start talking about something else?
Should we kiss so we can’t say anything?



“Shintaro!!! Kembalikan pensilku!!!”, seru Ichiko kesal karena sejak tadi Shintaro menyembunyikan pensil kesayangannya.


“Tidak mau… makanya jawab kalau kau mau jadi pacarku…”, jawab Shintaro sambil masih memankan pensil itu di tangannya.


“Aaaarrgghh!! Tidak!!! Cepat kembalikan!!!”, seru Ichiko lagi.


BRAKK!!


Pintu kelas terbuka dengan sangat keras. Smeua roang menoleh karena kaget dengan kedatangan tiba – tiba itu.


“Mana yang namanya Shintaro??!!”, seru orang itu. Wajahnya benar – benar menyeramkan, terdapat bekas luka di sana – sini, bahkan di wajahnya.


Semua murid perempuan serentak mundur dari tempatnya, tampak ketakutan.


“Ore da yo!!”, jawab Shintaro sambil menoleh memandang orang jahat itu.


“Ahahaha… anak kecil ini?!”


“IYAA!! Ada masalah dengan itu??!!”, seru Shintaro lagi.


Tanpa sadar Ichiko yang berada di belakang Shintaro meraih lengan baju Shintaro, meremasnya agar Shintaro tak melayani orang itu.


“Kau main – main dengan anak buahku ya semalam??!! Aku tak bisa memaafkanmu….”, orang itu berteriak lebih keras sehingga setengah murid perempuan sudah mulai menangis.


Shintaro mencibir, “Jadi dia minta pertolongan tuannya??!! Tak kukira dia selemah itu… siapa dia??peliharaanmu??!!”, balas Shintaro.


Ichiko semakin keras meremas lengan baju Shintaro sehingga laki – laki itu menoleh, dan seakan berbicara pada Ichiko dengan sorot matanya, aku-akan-baik-baik-saja.


Ichiko menggeleng, “Jangan…jangan…”, bisik Ichiko.


Shintaro melepaskan tangan Ichiko dari lengan bajunya, lalu menoleh pada musuhnya itu, “Ayo… jangan buat keributan di kelas…”, kata Shintaro lalu keluar kelas diikuti beberapa temannya.


“Shin!!!”, teriak Ichiko ketika Shintaro sudah pergi.


“Jadi kau pacarnya ya?”, kata laki – laki seram itu menghampiri Ichiko, gadis itu berusaha menggeleng, “BAWA DIA!!”, perintahnya pada dua orang temannya yang sejak tadi ikut dengannya.


“Kyaaaa~ lepaskan!!!”, Ichiko hanya bisa menangis dibawa orang – orang jahat itu.


“Kalian main curang ya… apa – apaan bawa sandera segala??!!”, protes Shintaro yang kaget melihat Ichiko dibawa oleh musuhnya.


“HAHAHA~ kami tak main curang… ini hadiahnya kan?? Kau mau hadiah?”, kata salah satu musuh itu sambil mencolek dagu Ichiko.


Air mata Ichiko terus mengalir karena takut.


“Jangan main – main denganku!!!”, Shintaro berlari menghadang musuh – musuhnya, “Tutup mata!!!”, perintah Shintaro pada Ichiko.


Dan Ichiko pun terus menutup mata sambil terus menangis karena ketakutan akan situasi seperti ini.




“Gomen na… Ichiko..”, kata Shintaro ketika mereka sudah pulang. Beruntung Shintaro tak luka parah, justru lawannya yang luka parah, ia hanya memar di beberapa bagian, “Kau baik – baik saja?”, tanya Shintaro.


Mereka tak kembali ke sekolah karena pasti Shintaro akan ketahuan berkelahi jika mereka kembali. Tas mereka dibawakan oleh teman Shintaro dan sekarang mereka sedang menunggu kereta api untuk pulang.


“Daijoubu…”, jawab Ichiko pelan.


Shintaro menatap Ichiko lama, “Gomen…”, katanya lagi.


“Sudahlah..aku tak apa – apa..”, kata Ichiko.


Selama sisa perjalanan itu baik Ichiko maupun Ryutaro sama sekali tak membicarakan apapun. Shintaro seakan kehilangan kata – katanya, Ichiko juga sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia benci kekerasan, kakaknya di rumah juga punya sifat hampir sama dengan Shintaro. Begitu membuat orang tua Ichiko khawatir, kakaknya yang berbeda Ibu itu sering sekali membuat onar, sampai – sampai orang tuanya kadang lelah menghadapi kakaknya itu.


Shintaro terus menemani Ichiko hingga ia bahkan turun di stasiun yang sama dengan Ichiko.


“Sudah… sampai sini saja.. jya!!”, kata Ichiko seraya meninggalkan Shintaro.


Secara refleks Shintaro menahan lengan Ichiko, “Kuantar sampai rumah ya?”, tawarnya yang masih khawatir akan Ichiko.


Ichiko menghempaskan tangan Shintaro, “Mou… mendokusai ne!! jangan ganggu aku terus…”, keluh Ichiko sambil berlari meninggalkan Shintaro.


Ia terus berlari hingga meninggalkan kawasan stasiun. Beruntung rumahnya tak jauh dari situ, sehingga walaupun sudah sore begini, ia bisa tenang berjalan sendiri.


“Sudahlah Sacchan… jangan menangis terus…”, Ichiko berhenti sebentar, ia melihat Ryutaro dan Saya di taman.


Seperti yang Ichiko tahu, rumah Saya memang berada di sekitar sini.


“Tapi Ryuu… aku kesal setengah mati karena Dai-chan gak angkat teleponku…”, rengek Saya pada Ryuu.


“Mou… dia sibuk mungkin… Sacchan yang bilang sendiri kan kalau kau sudah mau menerima segala konsekuensi pacaran dengan Arioka-san… jadi kau harus terima kalau dia sedang sibuk…”, kata – kata Ryutaro terdengar sangat lembut dan di setiap katanya mengandung perhatian yang sangat pada Saya.


Saya terdiam sejenak, memandang Ryutaro di hadapannya.


“Ne?”, Ryutaro menyentuh pipi Saya dan menghapus air matanya, “ya sudah sini… kau boleh menangis dulu untuk sekarang…”, kata Ryutaro meraih tubuh Saya dan memeluknya dengan sayang.


Ichiko tak lagi sanggup melihatnya. Hari ini menurutnya adalah hari paling buruk.




My eyes fill with tears, so I lift my head up
I smile a little so they won’t fall
Why are you like this to me, what are you saying?



“Makan Ichiko…”, perintah Ibunya mebuyarkan lamunannya.


“Iya Ma…”, jawab Ichiko, tapi pikirannya masih saja teringat kejadian sore tadi.


Ia mengedarkan pandangan, tak terlihat kakak laki – lakinya yang bengal itu, seperti biasa ia selalu pulang larut malam.


“Tadaima!!”, seru seseorang di pintu depan.


“Ojamashimasssuuu~”, seru seseorang lagi.


“Eh? dia bawa teman ya??”, kata Ibunya, “Okaeri!!!”, jawab Ibunya sambil menghampiri kakaknya di depan pintu.


“Maaf mengganggu..”, Ichiko tahu itu pasti suara kekasih kakaknya. 


Ia bahkan tak mengerti masih saja ada yang mau dengan kakaknya yang berandalan itu. Padahal gadis yang dipacari kakaknya itu sepertinya anak kuliah, tidak seperti kakaknya yang hanya bermalas – malasan di jalan.


“Yow!! Ichiko yo!!”, sapa kakaknya yang baru masuk ke ruang makan.


“Mou… jangan ganggu aku..”, keluh Ichiko sebal, melepaskan tangan kakaknya yang mengacak rambutnya pelan.


“Dinchan ikut makan saja ya…”


“Maaf merepotkan bu…”, katanya sopan. Namanya Din, kuliah di universitas yang cukup terkenal. Membuat pertanyaan lagi, dimana ia kenal kakaknya itu?


“Malam Pak… Ichiko-chan..”, sapa Din pada sisa orang disitu.


“Ichiko lagi PMS…”, kata kakaknya asal.


“Ssshh… Hikka… lagi pada makan juga..”, tegur Din pada Hikaru.


Hikaru tersenyum pada Din, “Ne… gomen na..”, katanya lagi.


Ichiko memperhatikan bahwa Hikaru, kakaknya itu, sangat sayang pada Din, begitu juga sebaliknya. Ia sangat ingin tahu, bagaimana mereka bisa bertemu? Gadis baik – baik sepertinya bisa tertarik pada kakaknya yang berandalan. Sungguh perpaduan yang aneh.


“Ichiko… berhenti melamun!!”, tegur Ibunya lagi.


“Ah… iya…”


“Atau Ichiko lagi jatuh cinta Ma!!”, seru Hikaru.


Disambut delikan dari Ichiko pada Hikaru.




Ichiko melangkah malas menuju sekolah. Ia tak suka jika keadaannya seperti ini. Mood nya benar – benar hancur sejak kemarin hingga sekarang rasanya ia ingin mengurung diri di kamar saja.


Ia berhenti sejenak memandang gerbang sekolah yang tinggal beberapa meter lagi di hadapannya.


“Ichiko!!”, panggil seseorang.


Ichiko mencari sumper suara, dan ternyata itu Shintaro.


“Kau sudah baikan?”, tanya Shintaro sedikit gugup beda dari biasanya.


Ichiko hanya mengangguk, dan berlalu dari hadapan Shintaro dengan gontai.


“Kau mau aku meminta maaf seperti apa lagi??” Shintaro kini sudah berada di hadapan Ichiko lagi.


“Satu hal… jangan ganggu aku lagi…”, jawab Ichiko tegas. 


Ichiko berjalan di lorong yang menuju kelasnya, saat ia bertemu dengan Ryutaro yang sedang memandang ke luar jendela lorong. Ichiko menoleh untuk melihat apa yang sedang Ryutaro perhatikan, karena wajahnya terlihat bahagia.


Di lapangan Fukuzawa Saya sedang berjalan masuk menuju sekolah, berjalan beriringan dengan teman – temannya dan tertawa senang.


“Ichiko?”, sapa Ryutaro yang kini sudah menoleh kepada Ichiko.


“Eh.. senpai… anou… gomen…”, katanya serba salah.


“Kau tampak murung… ada apa?”, tanya Ryutaro mendekat ke arah Ichiko.


Ichiko menggeleng, “Tidak ada apa – apa…”


“Kau juga sepertinya kurang tidur…”, Ryutaro lalu menarik Ichiko ke tempat wastafel, mengeluarkan sapu tangannya lalu membasuh sapu tangan itu dengan air.


“Senpai??”, Ichiko sedikit bingung dengan apa yang dilakukan Ryutaro.


Ryutaro memeras airnya hingga sedikit kering, lalu menempelkan sapu tangan itu pada mata Ichiko.


“Kau kurang tidur atau kebanyakan menangis? Matamu bengkak gitu…”, kata Ryutaro.


Ichiko memegang sapu tangan yang kini ada di mata kanannya.


“Arigatou… Ryuu-senpai…”, kata Ichiko yang masih juga kaget.


“Kau tahu manajer-san… kau lebih cocok jika tersenyum… tidak cemberut begitu…”, kata Ryutaro pada Ichiko.


Rasanya jantung Ichiko hampir melompat keluar dari dadanya.


“Jya.. aku duluan ya…”, ucap Ryutaro sambil berlalu dari hadapan Ichiko yang masih tak bisa bergerak.




All the things we talked about go to the sky
The words I have never said
The words I didn’t know I’d say as I cried
I like you, what do I do?




Bel pulang berbunyi. Ichiko meregangkan tubuhnya yang cukup kaku karena seharian ini belajar. Ia sudah sedikit terobati karena Ryutaro tadi pagi, maka ia bisa sedikit tersenyum hari ini.


“Ichiko… aku duluan ya!”, kata Yuka yang sudah beranjak keluar.


“Yup… mata ashita!!”, seru Ichiko.


“Mata ashita!!”, seru Yuka sambil melambai pada Ichiko.


“Huaaaa~ ngantuk..”, keluh Ichiko lalu keluar sambil membawa tasnya.


BRAKK!!


Pintu kelas terbuka, Ryutaro dan Kento berlarian hingga depan kelas Ichiko.


“Eh??”, semua orang yang masih di kelas tentu saja kaget.


“Ichiko-chaaann…”, seru Ryutaro lalu menghampiri Ichiko.


“Ya? Ada apa Ryuu-senpai? Nakajima-senpai?”, tanya Ichiko bingung karena kedua seniornya ini berada di hadapannya.


Ryutaro tak menjawab, tapi lalu menarik tangan Ichiko kelar dari kelas.


“Eeeehh?? Kencan? Apa?”, Ichiko kaget mendengar apa yang Ryutaro katakan.


“Un… gomen na… Sacchan bertanya terus apa aku bisa double date dengannya dan Arioka-senpai… akhirnya aku bilang bisa… tapi aku tak tahu siapa yang bisa kuajak lagi…”, jelas Ryutaro panjang lebar.


“Baka Ryuu..”, kata Kento menggeleng – gelengkan kepalanya.


“Eeehh?? Tapi senpai… aku…”


Ryutaro memegang bahu Ichiko, “Onegaishimasu…”, serunya.


Ichiko melihat wajah Ryutaro yang terlihat sungguh – sungguh, “Hmmm.. baiklah…”, jawab Ichiko akhirnya.




Karena gugup, ia bingung ia harus pakai apa? Ia terus mematut diri di cermin tapi tak satupun baju yang menurutnya cocok untu kencan hari ini.


“Dou shiyo?”, keluh Ichiko.


“Ichikooo!! Sarapan dulu!!”, seru Ibunya dari bawah.


“Iyaaa…”, Ichiko pun turun dan mendapati Din sudah ada di rumah.


“Ohayou Ichiko-chan..”, sapanya.


“Pagi sekali Neechan ada disini?”, tanya Ichiko.


“Aku ada urusan dengan Hikaru pagi ini…”, jelasnya sambil masih membantu Ibunya menyiapkan sarapan.


“Hmmm..”, Ichiko turn dan ikut sarapan.


“Baiklah… kau memangnya ingin terlihat seperti apa?”, tanya Din yang kini sudah ada di kamarnya.


Akhirnya Ichiko memutuskan untuk bertanya pada Din.


“Hmm.. manis mungkin…”, jawabnya malu – malu.


“Ini kencan pertamamu ya?”, tanya Din lalu membuka lemari milik Ichiko, mencari – cari baju yang pas untuk Ichiko.


Ichiko hanya diam, ia yakin mukanya memerah saat ini.


“Hmm… yang ini…”, Din terus memilih, Ichiko hanya memandangi punggung Din.


“Neechan…”, panggil Ichiko.


“Ya?”


“Kenapa Neechan mau dengan kakakku? Dia kan berandalan, sementara neechan mahasiswa…”, tanya Ichiko tiba – tiba.


Din tertawa, “Itulah ajaibnya cinta.. bahkan ketika ia terlihat buruk di mata orang lain, buatku dia orang yang paling hebat…”, jawab Din.


“Eh? kenapa bisa?”, tanya Ichiko lagi.


“Karena hanya dia yang bisa buatku tersenyum, dan nyaman bersamanya..”


“Tapi kan Hikka-nii kerjaannya malas – malasan saja, ia tak punya masa depan cerah…”, seru Ichiko.


Din kemabali tertawa lalu duduk di sebelah Ichiko, “Karena Ichiko-chan selalu memandangnya seperti itu… Hikka itu pekerja keras kok… dia bekerja paruh waktu sambil menunggu hasil wawancaranya dengan perusahaan… dia berusaha keras.. hanya dia memang selalu terlihat malas seperti itu..”


“Eh? maji ka yo?”, ia tak pernah mendnegar versi cerita begitu tentang kakaknya.


“Kau harus lebih bisa melihat seseorang tak dari luarnya saja…”, kata Din lembut.




“Sudah lama?”, tanya Ichiko menghampiri Ryutaro.


“Tidak… aku juga baru datang kok…”, jelas Ryutaro, “Ayo…”, Ryutaro menarik tangan Ichiko.


Mereka bergandengan tangan membuat dada Ichiko bergemuruh karena senang.


“Itu Sacchan dan Arioka-senpai…”, kata Ryutaro.


“Ryuu!!”, seru Saya senang.


“Ne… ini Yaotome Ichiko…”, Ryutaro memperkenalkan Ichiko pada Daiki dan Saya.


“Yaotome Ichiko desu… yoroshiku onegaishimasu…”, sapa Ichiko.


“Arioka Daiki desu…”.


“Fukuzawa Saya desu… yoroshiku ne..”, Saya lalu memukul pelan bahu Ryutaro, “Kenapa kau tak pernah mengenalkan gadis semanis ini padaku? Huh? Dasar Ryuu…”, kata Saya.


“Na… dia kan manajer klub basket… dia adik kelas kita..”, jelas Ryutaro.


“Sou ne…”, jawab Saya.


Mereka pun berjalan – jalan di sebuah akuarium raksasa. Sambil jalan – jalan, membicarakan banyak hal walaupun Ichiko sedikit risih karena tak terlalu mengerti arah pembicaraan mereka.


Selama disana Ryutaro terus menggenggam tangan Ichiko. Ia seakan meminta kekuatan dari tangan Ichiko yang ia genggam.


“Ne.. haus ya…”, keluh Saya sambil duduk di salah satu bangku yang ada di ruangan itu.


“Biar kami yang beli minum…”, tawar Ryutaro sambil menarik tangan Ichiko.


“Aku mau teh dingin… Dai-chan juga ya?”, tanya Saya pada Daiki.


Daiki mengangguk, “Onegai ne..”, katanya.


Mereka pun menuju ke mesin penjual otomatis yang berada di ruangan lain di akuarium itu.


“Yappari… rasanya sesak sekali..”, keluh Ryutaro.


“Apanya senpai?”


Ryutaro menoleh memandang Ichiko, “Nani mo nai…”, jawabnya sambil tersenyum.


Tak perlu ditanya sebenarnya Ichiko tahu jawabannya.


Saat mereka hendak kembali ke tempat Saya dan Daiki menunggu, Ichiko berjalan di depan Ryutaro. Saya dan Daiki sedang berciuman mesra di bangku itu. Ichiko segera berbalik, ia tahu Ryutaro juga sudah melihatnya.


Tangan Ichiko menutupi mata Ryutaro, “Jangan lihat Ryuu-senpai…”, bisiknya lirih.




Was my recent hairstyle change bad?
Did I wear the wrong clothes?
Still pretending like I don’t know
Like I don’t remember



Ichiko duduk di bangkunya sesaat setelah ia sampai di kelas.


“Ohayou Yuka-chan..”, sapa Ichiko pada Yuka.


“Ohayou…”, jawab Yuka smabil tersenyum.


“Ichikooo-chaaann!!”, seru seseorang yang membuat Ichiko mengehela nafas berat, ia tahu itu siapa.


“Shin…”, keluh Ichiko saat Shintaro seperti biasa merangkulnya.


Shintaro kembali merangkul Ichiko walaupun tangannya sudah di lepaskan oleh Ichiko, “Ne… kau kenapa sih??”, keluh Shintaro.


“Kau!! Sudah kubilang jangan ganggu aku terus!!”, seru Ichiko sambil berdiri memandang Shintaro dengan kesal.


“Ne… walaupun kau bilang begitu… aku tak bisa melakukannya..”, katanya.


“Kenapa?!!”


“Gampang saja…”, Shintaro mendekatkan wajahnya pada Ichiko lalu mengecup pelan bibir Ichiko tanpa sedikitpun aba – aba membuatnya kaget setengah mati, “Suki dakara…”, katanya lagi setelah melepaskan ciumannya.


“KYAAAAAA!!!!”, teriak Ichiko panik.



Should I act as if nothing happened?
Should I just say that we should go out?



“Arigatou na… Ichiko-chan..”


“Eh? Ryuu-senpai…”, Ichiko yang sedang merapikan beberapa handuk di ruang klub kaget ketika Ryutaro tiba – tiba datang.


“Aku ini menyedihkan ya?”, kata Ryutaro lagi, lalu duduk di bangku yang ada di sebelah Ichiko.


“Kenapa senpai bilang begitu?”


“Aku laki – laki tapi tak mampu mengutarakan perasaanku… menyedihkan kan?”, tanya Ryutaro pada Ichiko.


“Sou…”, Ichiko bingung harus berkata apa lagi.


“Bahkan berbohong soal aku dan kau berpacaran pada Sacchan.. ore wa saite da ne…”, katanya lalu memandang Ichiko.


“Eh??”


“Iya… aku bilang pada Sacchan bahwa kita sudah berpacaran…”, jelas Ryutaro.


“Demo… senpai…”


“Gomen na…”, Ryutaro menunduk memandangi bola basket yang sedang ia pegang, “Aku tak bisa bilang pada Sacchan yang sesungguhnya… gomen…”, kata Ryutaro lagi.


Ichiko sebenarnya harusnya cukup senang jika sekarang Saya tahu bahwa Ichiko dan Ryutaro berpacaran, tapi hati kecilnya justru merasa di manfaatkan oleh Ryutaro.




My eyes fill with tears, so I lift my head up
I smile a little so they won’t fall
Why are you like this to me, what are you saying?




Rumour ternyata berkembang setelahnya. Kejadian Shintaro mencium Ichiko di kelas, lalu hubungannya dengan Ryutaro tersebar luas.


“Ichiko…”, panggil Yuka pada Ichiko.


“Ya?”


“Kenapa harus kakak – adik itu sih? Ichiko-chan jadi disebut macam – macam..”, kata Yuka.


“Hah? Adik-kakak? Maksudmu?”


Ichiko melupakan satu hal yang penting. Ryutaro dan Shintaro punya nama belakang yang sama. Selain itu, mereka juga cukup mirip, hanya Ichiko tak pernah menyadarinya.


“Ah… yabai… kenapa aku bisa melupakan hal sepenting itu?!”, keluh Ichiko.


“Ehh?? Ichiko tak tahu?”, tanya Yuka heran.


“Aku tak pernah sadar hal itu…”, kata Ichiko pelan.


BRAKK!!


Pintu kelas terbuka, sosok Shintaro masuk dan langsung menghampiri Ichiko.


“Sou da ne… jadi kau pacaran dengan kakakku?”, tanya Shintaro.


Ichiko tak mampu menjawab apapun. Jika ia bilang ang sebenarnya, maka reputasi Ryutaro pun dipertaruhkan.


“Kau ternyata sama saja dengan yang lain…”, cibir Shintaro.


“Apa maksudmu?!!”


“Karena kakakku lebih tampan? Atau lebih keren?hah?!”


“Karena dia lebih tahu bagaimana memperlakukan cewek!!”, seru Ichiko sambil berlari meninggalkan Shintaro




“Eh?? serius Ma?!!”, suara Ichiko bergema di ruangan makan itu.


“Iya… bagaimana ya? Mama juga bingung harus bagaimana lagi?”


Ichiko kaget mendengar rencana kepindahannya ke Indonesia. Kakeknya sakit keras dan meminta Ibunya yang memang orang Indonesia untuk pulang. Ichiko juga akan dibawa oleh Ibunya.


“Aku kan bisa tinggal disini Ma… kan ada Papa dan Hikka-nii..”, protes Ichiko.


“Mama tak bisa meninggalkanmu disini Ichiko…”, keluh Mamanya.


Ichiko hanya bisa terdiam. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang? Tapi ia berfikir bahwa jika ia pindah, maka masalahnya dengan Shintaro dan Ryutaro bisa selesai dengan sekejap mata, ia tak harus menghadapi Shintaro, atau terus berbohong dengan Ryutaro.




Don’t say those kind of sad things
While looking at me like this
Is it that I’m childish or a bit slow?
I can’t believe it




“Hari ini terakhir Yaotome-san akan jadi manajer kalian… beberapa hari lagi ia akan pindah ke Indonesia…”, kata gurunya mengumumkan pada semua anggota team basket.


Ryutaro kaget karena ia sama sekali tak pernah mendengar soal rencana ini.


“Ne… Ichiko-chan… kenapa kau tak bilang apa – apa padaku?”, tanya Ryutaro setelah latihan selesai.


Ichiko diam, menjauhkan pandangannya dari Ryutaro karena takut ia akan menangis.


“Gomen Ryuu-senpai.. ini juga sangat mendadak… terima kasih telah membantuku selama ini…”, kata Ichiko pada Ryutaro.


“Apa karena masalahmu denganku dan Shintaro?”, tanya Ryutaro.


“Aku hanya tak mau jadi masalah terus disini.. lagipula kakekku sakit di Indonesia… aku akan pulang kesana..”, jawab Ichiko.


“Gomen na…”, Ryutaro menarik badan Ichiko hingga kini gadis itu berada di pelukan Ryutaro, “Gomen Ichiko-chan…”


“Ryuu-senpai harus menyatakan perasaannya pada Fukuzawa-san…”


“Eh? Nande??”


“Senpai…”, Ichiko melepaskan pelukan Ryutaro, lalu memandang Ryutaro dengan kedua matanya, “Suki dakara… selama ini aku selalu menyukai senpai…”




Even though I’m crying, I smile
I block your way and I just smile widely
Why am I being like this, do I not have any shame?




“Kau yakin sudah tak ada yang tertinggal?”, tanya Ibunya pada Ichiko.


Ichiko menggeleng, “Sudah semua Ma…”, jawabnya.


“Ichikooooo~”, seru Hikaru sambil memeluk adiknya itu.


“Aaarggh!! Nii-chan!!”, keluh Ichiko.


“Baik – baik disana ya.. Ichiko-chan…”, kata Din yang juga ikut mengantar.


Ichiko kembali menoleh saat ia sudah akan masuk ke gate keberangkatan, saat itu ia melihat sosok Shintaro dan Ryutaro yang berlarian ke arahnya.


“Eh?”


“Kenapa Ichiko?”, tanya Ibunya.


“Sebentar Ma…”, kata Ichiko lalu menghampiri Shintaro dan Ryutaro.


“Kalian?”


Ryutaro tersenyum pada Ichiko, “Hati – hati di jalan Ichiko-chan…”, katanya, lalu mendorong bahu Shintaro.


“Anou… Ichiko…itu…”


“Ada apa?”


“Anou… Ichiko no koto ga…”, Shintaro menelan ludahnya, mencoba tenang, “DAISUKI!!ICHIKO NO KOTO GA DAISUKI!!!”, teriak Shintaro sehingga hampir setengah manusia yang sedang lewat disitu menoleh melihatnya.


“Eeeh??”. Ichiko kaget.


“Karena itu… aku akan menunggumu.. aku pasti akan menunggu Ichiko-chan pulang…”, kata Shintaro dengan nafas tersengal.


Ichiko tersenyum pada Shintaro, “Wakatta… jya!! Ittekimasu…”, pamitnya.


“Itterashai!!”


Ichiko berbalik memunggungi Shintaro, “Aku mungkin akan belajar menyukai Shin-chan…”, katanya sambil melangkah menuju ke Ibunya.



I fold my pride up neatly and throw it up to the sky
The words I have never said
The words I might never be able to say again
I like you,
I’m in my dream



“Ne… Sacchan…”, panggil Ryutaro pada Saya yang sedang duduk sambil sesekali melihat ponselnya.


“Ya?”, tanya Saya menoleh melihat Ryutaro.


“Aku belajar banyak hal dari Ichiko dan Shin…”, katanya pada gadis itu.


“Hmm?? Maksudmu?”


“Selama ini aku selalu diam, ternyata memang seharusnya kau tahu…”, kata Ryutaro lagi.


Saya mengerenyitkan dahi tak mengerti arah pembicaraan ini.


“Sacchan no koto… suki… zutto suki datta…”, kata Ryutaro sambil memegang bahu Saya dengan kedua tangannya.


“Ryuu-chan… tapi…”


“Wakatta yo… aku hanya ingin Sacchan tahu kalau aku menyukaimu… kau harus bahagia dengan Arioka-san…”, kata Ryutaro sambil tersenyum pada Saya.


Saya mengangguk, “Un… wakatta!! Arigatou na… Ryuu-chan…”


Ryutaro meninggalkan taman itu dengan perasaan ringan. Ia bisa melanjutkan hidupnya lebih baik lagi sekarang.




It’s too beautiful, beautiful day
Make it a good day
Just don’t make me cry
Such a good day


===========


Komentar

Postingan Populer